Jakarta –
Libur Idul Fitri atau lebaran 2025 sudah berakhir. Sekarang saatnya bagi siswa untuk bersemangat kembali belajar di sekolah.
Pada hari pertama masuk sekolah usai libur lebaran, biasanya siswa akan mengikuti rangkaian acara halal bihalal atau saling maaf-maafan dengan guru. Di momen ini pun guru kerap meminta siswa membuat tugas menulis cerita libur lebaran.
Siswa bisa menceritakan pengalaman liburan bersama keluarga, teman atau orang lain. Dengan menuliskan cerita libur lebaran maka siswa dapat menyimpan kenangan dan mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai inspirasi, berikut adalah contoh-contoh cerita libur lebaran 2025 bagi siswa. Simak yuk!
Contoh Cerita Libur Lebaran 2025 Singkat & Menarik
1. Mudik Bersama Keluarga ke Rumah Nenek di Surabaya
Libur lebaran 2025 akhirnya tiba. Aku, sangat gembira karena tahun ini aku dan keluarga akan mudik ke Surabaya, ke rumah nenek. Sudah dua tahun kami tidak bertemu nenek karena kesibukan orang tua.
Perjalanan dimulai dari Jakarta. Aku berangkat bersama ayah, ibu, dan adikku, Rani. Kami naik kereta api dari Stasiun Pasar Senen. Aku duduk dekat jendela, menikmati pemandangan sawah hijau dan langit biru sepanjang perjalanan. Aku membawa buku cerita dan camilan kesukaanku, keripik tempe.
Sesampainya di Surabaya, nenek menyambut kami dengan pelukan hangat dan senyum lebar. Rumah nenek masih sama seperti dulu, sejuk dan penuh kenangan. Aku langsung berlari ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang dulu sering kupanjat.
Selama di Surabaya, aku ikut membantu menyiapkan ketupat dan opor ayam. Aku juga bermain petasan bersama sepupu-sepupuku saat malam takbiran. Suasana Lebaran di rumah nenek terasa lebih hangat dan seru.
2. Piknik ke Pantai Ancol
Setelah shalat Ied dan bersalam-salaman di pagi Hari Raya Idul Fitri 2025, aku dan keluarga berangkat ke Pantai Ancol. Tahun ini, keluarga besarku sepakat merayakan Lebaran dengan cara berbeda, piknik bersama di tepi pantai!
Dengan membawa tikar, makanan khas Lebaran seperti ketupat, rendang, opor ayam, dan kue-kue kering, rombongan keluargaku tiba di Ancol sekitar jam 13 siang. Angin sepoi-sepoi dan suara ombak langsung membuat hati semua orang senang.
Anak-anak, termasuk keponakanku Cecyl, langsung berlari ke bibir pantai. Mereka bermain pasir, membuat istana, dan sesekali main air sambil tertawa riang. Paman dan bibi ikut bermain bola pantai, sementara nenek duduk santai di bawah payung, tersenyum melihat semua cucunya bahagia.
Setelah puas bermain, semua berkumpul makan siang bersama. Makan opor ayam dengan nasi hangat di pinggir pantai terasa lebih enak daripada biasanya! Tak lupa, kami berfoto bersama dengan latar laut biru dan langit cerah.
Hari itu menjadi momen lebaran yang berbeda, penuh tawa dan kebersamaan. Aku berharap tahun depan bisa kembali merayakan lebaran di tempat seindah itu lagi.
3. Lebaran 2025 Berbeda karena Kami Rayakan di Pengungsian
Hari pertama lebaran 2025, aku dan keluarga seharusnya merayakan dengan kebahagiaan. Namun, hujan deras yang turun terus-menerus membuat rumah kami terendam banjir. Hanya dalam beberapa jam, air mulai naik dengan cepat, merendam seluruh desa mereka.
Aku, mamah, papah dan kakak terpaksa mengungsi ke tenda pengungsian yang didirikan di lapangan dekat desa. Meski suasana jauh dari perayaan, aku dan yang lainnya masih berusaha tersenyum. Aku melihat banyak wajah-wajah lain yang juga terpaksa meninggalkan rumah mereka, membawa sedikit barang yang bisa diselamatkan.
Di pengungsian, tidak ada ketupat atau opor ayam. Yang ada hanyalah nasi bungkus yang dibagikan relawan. Namun, meski sederhana, aku merasa bersyukur masih bisa berkumpul bersama keluarga. Tenda-tenda yang tergenang air, dengan dinding berlumpur, tidak menghalangi semangat kami untuk saling memberi dukungan.
Di tengah kesulitan, aku bertemu dengan seorang ibu yang kehilangan rumahnya. Ibu itu mengusap air matanya dan berkata, “Yang penting kita masih bersama, anak-anak sehat, dan ada orang yang peduli.” Kata-kata itu menyentuh hatiku. Di sana, di tengah keadaan yang sangat sulit, aku belajar tentang pentingnya rasa syukur dan kepedulian antar sesama.
Lebaran di pengungsian tidak seburuk yang ku bayangkan. Aku belajar bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang harta atau makanan mewah. Kebahagiaan sejati terletak pada rasa syukur dan kebersamaan.
4. Libur Lebaran di Rumah Saja
Tahun ini aku dan keluargaku tidak bisa mudik seperti tahun-tahun sebelumnya. Penyebabnya cuaca buruk dan jarak yang jauh, sehingga kami memutuskan untuk merayakan lebaran di rumah saja. Meski begitu, suasana tetap hangat dan penuh kebahagiaan.
Pagi hari dimulai dengan shalat Ied bersama di rumah. Setelah itu, aku dan ibu memasak hidangan lebaran. Kami membuat ketupat, opor ayam, dan sambal goreng ati. Aku sangat senang bisa membantu ibu di dapur, mencuci piring, dan menyusun hidangan di meja makan. Meskipun sederhana, aroma masakan yang harum membuat suasana terasa istimewa.
Setelah makan bersama, aku duduk di depan televisi dengan ayah dan adik. Mereka menonton acara lebaran yang menampilkan berbagai cerita lucu dan tradisi dari berbagai daerah di Indonesia. Tertawa bersama membuat kami lupa bahwa tahun ini tidak ada mudik.
Sore harinya, aku melakukan video call dengan nenek, paman, dan sepupu yang tinggal di luar kota. Walaupun kami tidak bisa bertemu langsung, aku merasa sangat dekat dengan mereka. Mereka saling bercerita tentang kebiasaan lebaran masing-masing dan berbagi cerita lucu.
“Semoga tahun depan kita bisa berkumpul lagi,” kata nenek melalui layar ponsel. aku pun tersenyum dan mengangguk, merasa bahwa meski tidak mudik, kebersamaan dan kasih sayang tetap terasa hangat.
5. Lebaran bersama Keluarga dan Rumah Baru
Tahun ini adalah pertama kalinya kami merayakan Idul Fitri di rumah baru. Tahun sebelumnya, kami masih tinggal di rumah nenek, sambil menabung untuk membangun rumah sendiri.
Pagi hari lebaran, aku bangun dengan semangat. Aku membantu ibu menyiapkan hidangan khas lebaran seperti ketupat, rendang, dan sambal goreng kentang. Ayah memasang lampu hias di teras rumah, sementara adik sibuk menata toples kue di ruang tamu.
Meskipun belum banyak perabot dan halaman masih berupa tanah kosong, aku merasa rumah baru ini hangat dan nyaman. Ada rasa syukur yang dalam di hati kami, akhirnya punya tempat sendiri untuk berkumpul dan merayakan hari besar.
Tetangga-tetangga baru pun berdatangan bersilaturahmi. Aku senang bertemu teman-teman baru dan mengenalkan diri. Meski suasana masih sederhana, tawa dan kebahagiaan memenuhi seluruh rumah.
Di malam hari, keluarga kecilku duduk bersama di ruang tengah. Kami saling bercerita, tertawa, dan menikmati teh manis hangat. “Tahun ini kita tidak hanya merayakan Lebaran, tapi juga merayakan awal baru,” kata ayah sambil tersenyum.
Itulah contoh cerita libur lebaran bagi siswa. Semoga bisa dijadikan inspirasi dalam menulis ya.
(cyu/cyu)