Jakarta –
Tak ada lagi kelas IPA, IPS dan Bahasa di SMA. Tak ada lagi pandangan dan anggapan bahwa anak IPA lebih ‘superior’ dibanding jurusan lainnya. Semua jurusan di SMA kini ditiadakan sejak Kurikulum Merdeka berlaku 2021 lalu.
Semua siswa SMA di kelas X mendapatkan mata pelajaran IPA dan IPS yang dilakukan dengan terpadu, kemudian di kelas XI dan XII ada mata pelajaran umum dan 7 mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran pilihan ini di kelas XI sebanyak 180 jam pelajaran per tahun, dan di kelas XII harus ditempuh 160 jam pelajaran per tahun.
“Pada kelas 11 dan 12 SMA, murid yang sekolahnya menggunakan Kurikulum Merdeka dapat memilih mata pelajaran secara lebih leluasa sesuai minat, bakat, kemampuan dan aspirasi studi lanjut atau karirnya,” tutur Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo pada detikEdu, Kamis (18/7/2024) lalu.
Nino, demikian panggilan akrab Anindito, mencontohkan seorang murid yang ingin berkuliah di program studi teknik bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mata pelajaran matematika tingkat lanjut dan fisika, tanpa harus mengambil mata pelajaran biologi. Sebaliknya, seorang murid yang ingin berkuliah di kedokteran bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mapel biologi dan kimia, tanpa harus mengambil mapel matematika tingkat lanjut. Dengan demikian, murid bisa lebih fokus untuk membangun basis pengetahuan yang relevan untuk minat dan rencana studi lanjutnya.
“Persiapan yang lebih terfokus dan mendalam ini sulit dilakukan jika murid masih dikelompokkan ke dalam jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Yang terjadi ketika ada pembagian jurusan adalah sebagian besar murid memilih jurusan IPA. Hal ini belum tentu dilakukan berdasarkan refleksi tentang bakat, minat dan rencana kariernya, melainkan karena jurusan IPA diberi privilese lebih dalam memilih program studi di perguruan tinggi. Dengan menghapus penjurusan di SMA, Kurikulum Merdeka mendorong murid untuk melakukan eksplorasi dan refleksi minat, bakat dan aspirasi karier, dan kemudian memberi kesempatan untuk mengambil mata pelajaran pilihan secara lebih fleksibel sesuai rencana tersebut,” imbuh Nino.
Sebagai informasi, penghapusan jurusan di SMA juga menghapus diskriminasi terhadap murid jurusan non-IPA dalam seleksi nasional mahasiswa baru. Dengan Kurikulum Merdeka, semua murid lulusan SMA dan SMK dapat melamar ke semua prodi melalui jalur tes, tanpa dibatasi oleh jurusannya ketika SMA/SMK.
Di lapangan, ada beberapa kritik yang disampaikan terkait kebijakan peniadaan jurusan di SMA ini. Salah satunya dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. Ia memberikan contoh kasus yang terjadi di lapangan. Ubaid melihat masih banyak mata pelajaran pilihan yang sepi peminat bahkan tidak ada peminatnya sama sekali.
“Karena ini modelnya peminatan, di sekolah-sekolah yang dijadikan percobaan itu ada guru-guru yang enggak dapat murid karena mata pelajarannya enggak diminati,” kata Ubaid.
“Kalau guru enggak mengajar itu kan ada kewajiban yang harusnya ia tunaikan tapi enggak ditunaikan, akhirnya sertifikasinya enggak turun, tunjangannya enggak turun akhirnya kesejahteraannya terganggu,” tambahnya.
Kritik senada datang dari Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Wijaya MPd. Karena ada kelas yang sepi peminat, ada kelas yang membludak peminatnya. Imbasnya, ada guru yang tak mencapai jam minimal mengajar, ada yang kelebihan jam minimal pengajar. Atau kelas dengan peminat banyak kekurangan guru.
“Jangan sampai yang nanti guru kembali jadi korban. Jangan sampai guru jadi kekurangan jam minimal mengajar sebagai syarat untuk pencairan Tunjangan Profesi Guru (TPG), jangan sampai juga pihak sekolah yang terbebankan,” tuturnya.
Serba-serbi jurusan IPA-IPS-Bahasa yang ditiadakan ini dapat dibaca di detikEdu dalam artikel-artikel berikut:
(nwk/pal)