Jakarta –
Wacana student loan disebut-sebut sebagai solusi dari tingginya biaya pendidikan tinggi. DPR menilai wacana ini justru akan menambah masalah baru.
Sebelumnya, wacana student loan pertama diangkat oleh Menteri Ekonomi, Sri Mulyani. Hal itu menanggapi tawaran pembayaran uang kuliah menggunakan jasa peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) yang terjadi di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sri Mulyani sempat meminta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan untuk membahas pengembangan student loan.
“Terkait dengan adanya mahasiswa yang membutuhkan bantuan pinjaman, kita sekarang sebetulnya sedang membahas dalam dewan pengawas LPDP, meminta LPDP untuk kemungkinan mengembangkan yang disebut student loan,” kata Sri Mulyani dalam detikFinance, Selasa (30/1/2024) lalu.
Menanggapi wacana ini, anggota Komisi X DPR RI, Bramantyo Suwondo, menilai student loan bisa menimbulkan masalah baru. Ia menyoroti jumlah lulusan dengan student loan ini yang nantinya terserap lapangan kerja.
“Berapa persen yang masuk menjadi karyawan atau segala macam mengikuti career laddernya. Berapa persen menjadi pengusaha. Itu kita perlu tau karena bank ini juga punya hitungan pembiayaan sendiri sepanjang berapa panjang nafasnya bisa bertahan,” jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Komisi X dengan Rektor Universitas PTN dan PTS disiarkan langsung dalam Youtube Komisi X DPR RI Channel, Senin (1/7/2024).
Bramantyo pun menceritakan rekannya yang kembali ke Indonesia setelah mengikuti sekolah tinggi di luar negeri. Akibat tak kunjung mendapat pekerjaan di Indonesia, ia harus bersekolah lagi dengan jurusan yang sesuai dengan minat industri. Padahal, biaya yang ia keluarkan untuk sekolah di luar negeri tak sedikit.
“Bayangkan kalau mereka tidak kejamin biaya hidupnya, terus ada beban student loan. Ini adalah masalah baru. Perbankan juga harus memikul beban itu,” tegasnya.
Ia menekankan agar mahasiswa yang mengikuti student loan dapat terserap secara maksimal di dunia kerja. Menurutnya, program ini dapat menjadi investasi jangka panjang dunia bidang pendidikan, tetapi juga memiliki risiko tinggi gagal bayar.
(nir/nwk)