Jakarta –
Keterbatasan fisik bukan penghalang bagi Mukhanif Yasin Yusup untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan mengabdi untuk negeri. Difabel rungu ini tercatat sebagai lulusan Magister Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kemenkeu RI.
Sosoknya bahkan mengawali LPDP dalam membuka jalur khusus Beasiswa Afirmasi Disabilitas. Bagaimana kisah awardee LPDP ini membuka jalan beasiswa LPDP khusus afirmasi disabilitas dan berkontribusi untuk masyarakat?
Yakin Pendidikan adalah Kunci
Khanif menuturkan ia semula termotivasi orang tua untuk belajar hingga bangku pendidikan tinggi. Pendidikan baginya membuka jalan untuk berbuat lebih di berbagai bidang. Saat SMA, contohnya, ia mendapat amanah untuk menjadi ketua OSIS di SMA Ma’Arif NU Karanganyar, Purbalingga, Jawa Tengah.
“Meskipun satu-satunya siswa difabel di sekolah, saya mendapat pengalaman berharga ketika diamanahi sebagai ketua OSIS,” kata Khanif pada detikEdu.
Di jenjang kuliah, ia berani memilih belajar di jurusan S1 Sastra Indonesia UGM. Ia merasa kendati kemampuan bahasa mayoritas difabel rungu rendah, tetapi tidak banyak kesulitan selama kuliah yang dihadapi. Ia rajin mencatat penjelasan tertulis dosen di papan tulis, lalu aktif bertanya dan mencari literatur agar paham lebih dalam.
Dalam laman kampus, indeks prestasi kumulatif (IPK) Khanif semasa S1 tercatat mencapai 3,59. Ia juga meraih Juara I Lomba Menulis Kamakarya UGM, di samping aktif merilis karya antologi puisi dan cerpen.
Semasa S1, Khanif juga merintis Forum Mahasiswa Difabel dan Partner UGM pada 2012 Forum ini kelak resmi menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel UGM atau Student Activity Unit of Diffable Care) pada 2013 dengan bantuan beberapa mahasiswa nondifabel yang responsif dengan isu disabilitas. UKM ini menjadi wadah mereka untuk menyikapi isu-isu difabel, terutama di UGM.
Capaian-capaian Khanif di bidang akademik maupun nonakademik mengantarkannya pada penghargaan Mahasiswa Berprestasi UGM di fakultasnya. Tidak berhenti di situ, ia juga tergerak lanjut kuliah di program magister seperti para senior di kampus.
Memperjuangkan Kuliah dengan Beasiswa LPDP
Khanif berharap keputusannya untuk lanjut kuliah jenjang magister juga menjadi contoh dan bukti bahwa difabel rungu bisa bersaing dengan yang nondifabel sekalipun. Namun, ia terhalang soal teknis dan administrasi untuk mendaftar beasiswa LPDP yang saat itu belum ada program beasiswa afirmasi disabilitas.
“Saya mendaftar LPDP tahun 2015. Waktu itu habis lulus niatnya daftar LPDP, tetapi terhalang beberapa hal. Hal ini karena waktu itu belum ada jalur afirmasi disabilitas. Prosedurnya rumit, seperti harus ada TOEFL yang ada listening-nya, dll,” katanya bercerita.
Ia pun mencoba melobi kampus yang bisa menerima kondisinya sebagai difabel rungu di jenjang magister. Strategi ini ia lakukan agar lebih meyakinkan saat berkorespondensi dengan pihak LPDP.
“Butuh proses tiga bulanan untuk mendapatkan jawaban dari pihak UGM karena ada syarat TOEL juga. Setelah itu saya email pihak LPDP, baru dibalas 2 atau 3 bulanan kemudian, itupun jawabannya nunggu dirapatkan sama pimpinan. Kemudian saya email lagi sekitar 2 atau 3 minggu terkait keputusan direksi. Alhamdulillah mereka menyetujui pendaftaran saya,” kata Khanif.
Ia bercerita, saat itu ada empat periode pendaftaran beasiswa LPDP dalam setahun. Kendati meleset dari target mendaftar pada periode ketiga, ia mengaku bersyukur dapat mendaftar pada periode keempat.
“Berkaca dari pengalaman tersebut, saya mengusulkan agar ada penambahan afirmasi bagi disabilitas,” kisahnya.
Dijelaskan dalam laman Media Keuangan (MK+) Kemenkeu RI, jalur afirmasi disabilitas LPDP yang belum tersedia saat itu membuat Khanif mendaftar beasiswa jalur Bidikmisi berbekal IPK cumlaude. Sementara itu, hasil lobi dengan LPDP dan kampus membuat Khanif meraih kursi S2 UGM dengan mengecualikan kemampuan listening pada TOEFL. Sebagai gantinya, ia harus menyediakan rekam jejak kemampuan berbicara atau menulis bahasa Inggris dengan baik.
Alhasil, Khanif diterima di Prodi Magister Ilmu Sastra UGM untuk mulai kuliah pada 2016. Perjuangannya tersebut juga mengawali LPDP untuk membuka program beasiswa afirmasi disabilitas.
Membumikan Dunia Digital untuk Difabel
Pada awal 2020, Khanif mendirikan Difapedia. Mulanya, platform ini berupa website untuk mengarusutamakan isu difabel berbasis digital. Isunya mulai dari kasus perundungan pada siswa difabel hingga stigma difabel sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Namun, ia merasa pengarusutamaan isu difabel tidak cukup. Khanif pun meresmikan Difapedia sebagai lembaga berbadan hukum sejak Desember pada tahun yang sama. Bekerja sama dengan kementerian dan lembaga RI, universitas, hingga organisasi nirlaba di dalam dan luar negeri, yayasan ini di antaranya aktif di bidang riset, advokasi, dan pembangunan inklusif.
Dalam akun Instagram @difapedia, netizen difabel maupun nondifabel juga bisa memantau berbagai pelatihan, pesantren digital, hingga lokakarya inklusif. Beberapa di antaranya yaitu pelatihan jurnalistik, literasi digital, pemasaran digital, dan digital marketing inklusi.
“Difapedia sebagai sebuah lembaga sudah memiliki visi dan misi, bagaimana difabel tidak tertinggal dari arus teknologi digital yang sudah berkembang, bagaimana membangun sektor digital yang inklusif bagi difabel. Memainkan peran difabel sebagai subyek, bukan sebatas obyek saja,” jelas peraih penghargaan LPDP Award kategori HAM dan Toleransi tersebut.
Sementara itu, para pegiat Difapedia juga belajar mendalami isu-isu disabitas. Contohnya melalui lokakarya pemantauan hak-hak difabel di Surabaya dan lokakarya penanganan udara inklusif.
Khanif menuturkan, memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai merupakan tantangan terbesar bagi Difapedia saat ini. Karena itu, yayasan ini menerapkan prinsip inklusi dengan mengajak difabel dan nondifabel berkolaborasi dalam satu payung.
“Karena inklusi adalah merangkul semuanya,” kata Khanif.
Tantangan kedua adalah perspektif difabel itu sendiri. Khanif mendapati, tidak semua difabel memiliki pola pikir untuk berdaya, kompeten, dan aktif. Beberapa di antaranya justru pasif. Karena itu, Khanif menekankan perlunya membangun perspektif berdaya dari sisi seorang difabel sendiri.
“Atau ketika ketika kami ajak untuk berdiri dan berusaha bareng, dianggapnya kita ngasih bantuan. Jadi perspektifnya bukan cuma stigma yg dilakukan nondifabel/masyarakat kepada difabel, tetapi juga perspektif dari isi difabel itu juga perlu dibangun. Itulah kenapa dalam setiap program pun Difapedia melibatkan difabel dan nondifabel sebagai peserta,” terangnya.
Terlepas dari itu, ia mengakui soal pendanaan juga masih jadi tantangan di Difapedia. Para pengurus yayasan saat ini masih bekerja cenderung dengan prinsip kerelawanan.
“Masalah klasik berikutnya adalah pendanaan, wkwk. Tapi alhamdulillah, kita di-support beberapa pihak sehingga bisa eksis sejauh ini. Kita belum sepenuhnya bisa menggaji pengurus, mereka masuknya lebih ke kerelawanan,” kata Khanif.
Dengan semua tantangan yang ada, ia berharap Difapedia menjadi wadah pelaku usaha difabel dan nondifabel di sektor digital. Bulan ini hingga Agustus 2024, Difapedia bekerja sama dengan Telkom Indonesia menyelenggarakan pelatihan digital inklusi batch #1. Masa pendaftaran dibuka sampai 20 Juli 2024 secara daring di bit.ly/PelatihanDigitalInklusi.
“Nantinya dari pelatihan ini akan ada pendampingan dan magang dari kelas Content Creator, DIgital Marketing, dan Desain Grafis (basic). Mereka nantinya juga akan mendukung sektor UMKM difabel yang saat ini sedang didampingi oleh Difapedia,” jelasnya.
“(Didampingi) menyiapkan strategi pemasaran secara digital. Selain itu, juga sedang planning membuat ekosistem UMKM difabel sehingga ke depannya akan mewujudkan difabel yang berdaya saing dan mandiri,” pungkasnya.
(twu/twu)