Hong Kong –
Setiap masa melahirkan generasi sendiri. Termasuk Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1997-2012 yang sudah menjadi native digital. Melahirkan tantangan tersendiri untuk mendidiknya.
Tantangan itu dirasakan oleh Vice President of Binus Higher Education, Prof Harjanto Prabowo. Pertama, dibandingkan Generasi X, Gen Z, menurut Prof Har, memiliki attention span atau panjang perhatian yang semakin pendek. Perhatian Gen Z gampang teralihkan.
“Jadi semua konten mengajar sudah disediakan. Dosen tidak bisa hanya mengajar saja, ibaratnya harus bisa nari, tertawa, bercerita dan sebagainya,” tutur Prof Har dalam acara Binus Media Partnership Program (BMPP) di Hotel Dorsett Tsuen Wan Hong Kong, Jumat (28/6/2024).
Kedua, imbuh mantan Rektor Binus University ini, Gen Z sudah tidak suka membaca buku-buku cetak. Gen Z lebih suka membaca e-book atau buku elektronik.
“Kemudian sudah tidak bisa menulis tangan. Coba lihat, tulisannya kan jelek-jelek itu. Karena sudah terbiasa mengetik dengan gawai,” tuturnya.
Keempat, Gen Z ini sangat memberdayakan artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT. Maka itu sangat penting bagi Gen Z untuk belajar soal AI.
Dalam dunia kerja, imbuh Prof Har, Gen Z ini sangat mementingkan sekali work life balance atau keseimbangan hidup, juga sangat sadar akan kesehatan mental.
“Gen Z cenderung tidak mau diperintah-perintah. Maunya ya yang nyuruh harus melakukan pekerjaan itu bareng-bareng dengan mereka,” tuturnya.
Kemudian, Gen Z tidak bisa diberikan penilaian dalam periode yang lama, misalnya setahun. Gen Z cenderung suka bila penilaian itu dilakukan dalam periode lebih pendek, misalnya sebulan.
“Maunya ya, begitu melakukan kesalahan dikoreksi, lakukan salah lagi langsung dikoreksi, begitu terus. Bukan terus evaluasinya tahun depan, itu bikin Gen Z sebal itu. Mereka beranggapan ‘lha itu kan sudah lewat, kenapa masih diungkit’,” jelasnya.
Ditambahkan Rektor Binus University Dr Nelly, SKom, MM, CSCA bahwa Gen Z itu sangat hands on. Tidak senang materi kuliah yang terlalu banyak berteori.
“Mereka sukanya kalau belajar itu ya langsung praktek,” imbuhnya dalam forum yang sama.
Mengantisipasi perilaku Gen Z yang gampang bosan seperti ini, Binus University sejak tahun 2014 sudah mengadakan minor program dan enrichment program. Minor program ini bisa diambil meski bidangnya berbeda jauh 180 derajat dari major studi yang diambil.
“Misal yang S1-nya ambil jurusan Komputer bisa ambil minor program Culinary. Sebaliknya yang ambil jurusan Bisnis bisa ambil jurusan Komputer atau Digital. Kuliah sekarang orientasinya berbeda, tidak bisa hanya dengan single competency,” tutur Prof Har.
Dr Nelly menambahkan kurikulum di Binus University kini dipadatkan hingga 2,5 tahun saja untuk mengenyam teori. Selebihnya di semester 6-7, mahasiswa wajib menjalani Enrichment Program dengan berbagai pilihan seperti magang, community development, entrepreneur yang akan dimasukkan inkubator bisnis dan mentoring dan sebagainya.
“Kalau sekarang namanya itu MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka), Binus sudah mulai duluan. Nanti di semester 7-8, mereka harus membuat tugas akhir yang in-line dengan tugas mereka di Enrichment Program,” jelas Nelly.
(nwk/faz)