Jakarta –
Semua yang dikatakan dan dilakukan oleh orang tua kepada anaknya sejak bayi hingga anak-anak, akan memengaruhi perkembangan mental anak. Maka dari itu, pakar menyarankan orang tua untuk lebih berhati-hati dalam mengucapkan kata-kata kepada anak.
Psikoterapis asal Florida, Amerika Serikat, sekaligus penulis buku terlaris internasional, Amy Morin, mengatakan bahwa orang tua yang membesarkan anak-anak yang kuat secara mental tidak pernah menggunakan ungkapan tertentu saat anak masih kecil.
Anak-anak yang bermental tangguh cenderung memiliki harga diri yang tinggi, mengembangkan ketahanan yang memungkinkan mereka untuk tetap bersikap positif di tengah tantangan dan belajar dari kegagalan mereka saat dewasa.
“Itu berarti (sangat penting) memilih kata-kata dengan hati-hati di sekitar anak-anak Anda, terutama dalam situasi stres di mana mudah untuk mengatakan apa pun yang menurut Anda dapat menghentikan kemarahan atau menenangkan rasa khawatir. Kata atau frasa tertentu secara tidak sengaja dapat mengirimkan pesan yang salah,” kata Morin, seperti dilansir dari CNBC.
Lantas kalimat atau ungkapan apa saja yang dilarang dikatakan orang tua kepada anak?
5 Kalimat yang Dilarang Dikatakan oleh Orang Tua kepada Anaknya
1. ‘Tenang!’
Berapa kali orang tua kehilangan sabar saat anaknya rewel dan tantrum? Mungkin banyak yang akan menyuruh anaknya diam atau tenang.
Sebagai psikoterapis, Morin menekankan bahwa menyuruh tenang anak yang sedang marah adalah kurang tepat. Meskipun untuk tujuannya baik agar anak bisa mengikuti kata-kata orang tuanya untuk tenang, tetapi yang lebih penting adalah memperhatikan perasaan anak.
“Sebaliknya, cobalah sesuatu seperti ini, ‘Sepertinya kamu benar-benar marah saat ini’,” ucapnya memberi contoh.
Menurut Morin, saat anak marah, orang tua perlu membantu anaknya untuk memahami bahwa merasa kesal adalah hal yang wajar. Kemudian dorong mereka dengan lembut untuk melakukan aktivitas yang Anda tahu akan membantu mereka tenang.
“Ajari mereka apa yang harus dilakukan saat Anda marah. Jadi daripada melempar sesuatu atau berteriak, mungkin Anda mewarnai gambar atau pergi keluar dan berlari atau mendengarkan musik selama beberapa menit,” jelas Morin.
2. ‘Kamu membuatku marah’
Sebaliknya, saat orang tua marah, jangan langsung dikatakan kepada anak. Hal ini dapat membuat anak berpikir bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas tindakannya.
Menurut Morin, hal ini bahkan dapat mengarah pada perilaku manipulatif. Anak-anak bisa menyalahkan anak-anak lain saat merasa marah, alih-alih memproses perasaannya sendiri.
“Kami tidak ingin [anak-anak] tumbuh dengan menyalahkan orang lain karena telah membuat mereka marah, merusak hari mereka, dan menyebabkan mereka merasa tidak enak sepanjang waktu,” ungkapnya.
Seharusnya, anak-anak diberi pemahaman bahwa mereka memiliki wewenang untuk mengontrol cara berpikir mereka sendiri, termasuk saat merasakan, dan berperilaku.
Alih-alih menunjukkan kemarahan, orang tua perlu menggantinya dengan kalimat: “Saya tidak suka perilaku kamu saat ini,” atau “Saya tidak suka tindakanmu, inilah yang seharusnya bisa kita lakukan”.
3. ‘Kamu akan melakukannya dengan baik’ atau ‘Kamu akan berhasil’
Ungkapan ini terlihat sangat positif dan bisa membangun kepercayaan diri kepada anak. Namun, ungkapan ini memiliki sisi lain yang merusak kepercayaan diri anak. Kok bisa?
Saat orang tua mengatakan bahwa anak bisa melakukan dengan baik, anak akan berpikir bahwa mereka pasti akan berhasil. Menurut Morin, ini yang berbahaya.
Sebab, saat anak-anak justru menemui kegagalan, kepercayaan diri mereka akan rusak.
Morin memberi saran, daripada mengatakan, ‘Kamu akan berhasil’, pesan yang lebih baik adalah: ‘Cobalah dan lakukan yang terbaik. Dan jika tidak berjalan dengan baik, tidak apa-apa. Kami akan menanganinya juga’,” kata Morin.
4. ‘Itu sempurna!’
Selanjutnya, orang tua harus berhati-hati untuk tidak membesarkan seorang perfeksionis yakni anak yang berpikir bahwa dirinya harus selalu “sempurna” untuk mendapatkan pujian atau kasih sayang dari orang tuanya.
Menurut penelitian, perfeksionisme pada anak-anak berkorelasi dengan berbagai masalah kesehatan mental, mulai dari kecemasan hingga gangguan obsesif kompulsif (OCD).
Secara sekilas, ungkapan tentang pujian kesempurnaan kepada anak tampak tidak berbahaya. Namun, komentar tersebut dapat menjadi awal dari sebuah pola yang membuat anak-anak terobsesi dengan setiap kesalahan.
“Puji upaya mereka, bukan hasilnya,” saran Morin.
Misal ketika anak bisa menggambar dengan baik, yang dipuji adalah upaya mereka yang sudah bekerja keras. Ini akan membentuk mental, yang suatu saat anak terjatuh, bisa bangkit lagi.
5. ‘Jangan pernah biarkan aku memergokimu melakukan hal itu lagi’
Ketika anak memecahkan suatu benda, sering kali orang tua mengatakan kepada anak untuk tidak melakukannya lagi di depan mereka. Ungkapan tersebut sering diucapkan karena rasa frustrasi dan keinginan tulus untuk membantu anak-anak menghindari kebiasaan buruk atau berbahaya.
Namun, kata Morin, anak-anak itu cerdik. Biasanya jika orang tua hanya memperingatkan mereka tentang konsekuensi jika tertangkap atau ketahuan, mereka akan belajar lebih baik dalam menyembunyikan perilaku buruknya dari Anda.
“Mereka akan merekatkan kembali lampunya jika nanti rusak, atau membuang kertasnya [yang nilainya buruk] sebelum Anda melihatnya,” ucap Morin.
Seharusnya, orang tua memberi pemahaman bahwa jika anak jujur kepada Anda tentang kesalahannya, maka Anda dapat membantu mereka belajar dan berkembang.
Morin menyarankan orang tua bisa mengatakan: “Kamu mungkin akan melakukan ini lagi, dan akan tergoda untuk menyembunyikannya dan menutupinya. Ini yang seharusnya bisa dilakukan’.”
(faz/nwk)