Jakarta –
Menteri Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) telah merilis panduan krisis iklim untuk siswa dan sekolah. Seperti apa isinya?
Seperti diketahui, krisis iklim telah menjadi momok dalam beberapa dekade terakhir. Suhu yang memanas mendorong bencana alam di berbagai belahan dunia.
Menghadapi krisis ini, Kemendikbudristek melalui BSKAP meluncurkan Panduan Pendidikan Perubahan Iklim. Panduan yang merupakan bagian dari Kurikulum Merdeka ini diharapkan bisa membantu satuan pendidikan dan pemerintah daerah dalam menerapkan pendidikan terkait kesadaran perubahan iklim yang bisa dilakukan oleh semua warga satuan pendidikan, termasuk guru, siswa, dan orang tua.
Kepala BSKAP Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, menyoroti pentingnya pemahaman dan kesadaran sejak dini terhadap isu perubahan iklim.
“Dengan kesadaran dan pemahaman yang ditanamkan sejak dini, anak-anak bisa mempersiapkan diri dan berperan aktif dalam merespons perubahan iklim. Krisis iklim yang sedang terjadi akan sangat dirasakan oleh anak-anak dan generasi muda di masa depan, yang nantinya akan berdampak sangat besar pada hasil belajar dan kesejahteraan hidup mereka,” ungkap Anindito dikutip dari laman Kemendikbudristek, Selasa (27/8/2024).
“Kita menggunakan prinsip dan pendekatan yang RAMAH dalam Kurikulum Merdeka pada penerapan pendidikan perubahan iklim: Relevan, Afektif, Merujuk Pengetahuan, Aksi Nyata, dan Holistik,” tambahnya.
Panduan ini disusun secara partisipatif dan kolaboratif. Dalam penyusunannya sejak Juni 2023, Kemendikbudristek telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Adapun Panduan Pendidikan Perubahan Iklim dapat diakses melalui laman kurikulum.kemdikbud.go.id.
“Panduan Pendidikan Perubahan Iklim ini merupakan alat bantu dalam implementasi. Sekolah dapat menerapkan pendidikan perubahan iklim secara fleksibel dan menggunakan sumber daya yang ada. Kami berharap melalui panduan ini berbagai praktik baik yang sudah berjalan bisa menjadi inspirasi yang lebih masif lagi,” ujar Anindito.
Kepala Dinas Pendidikan KabupatenSumba Barat,LobuOri, menjelaskan dampak perubahan iklim ini sangat terasa didaerahnya yang ada di daerah 3T. Ia juga menjelaskan bagaimanadaerahnya diterpa kondisi kemiskinan yang ekstrem.
Oleh karena itu, ia berpendapat jika pendidikan perubahan iklim ini relevan bagi dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Ori juga menyampaikan pendidikan perubahan iklim tidak hanya meningkatkan capaian pembelajaran.
“Anak-anak-bisa juga belajar tentang literasi dan numerasi. Contohnya, ketika mereka menulis nama pohon. Mereka belajar menulis nama pohon dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa daerah, bahkan bahasa Latin. Tapi yang terpenting, murid juga lebih senang dan bahagia ketika mereka datang belajar ke sekolah. Kami sangat bersemangat melakukan hal ini dan kami harap pemerintah bisa terus membantu, mendukung, dan mengapresiasi kami dalam bentuk apa pun,” jelasnya.
(nir/nah)