Jakarta –
“Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk dicapai. Yang hanya ada niat terlalu rendah untuk melangkah.”
Begitulah prinsip yang dipegang oleh Alfin Dwi Novemyanto saat mengejar mimpinya untuk meraih pendidikan tinggi. Prinsip ini membawa dirinya melewati banyak kesulitan hingga akhirnya dia kuat bertahan.
Bagi Alfin, sapaannya, mimpi untuk meraih pendidikan adalah hal yang mewah. Sebab, ia dibesarkan dari keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak remaja, Alfin tinggal bersama ibunya yang menjadi orang tua tunggal dan dua saudaranya. Sejak orang tuanya berpisah, Alfin mengaku kehidupannya cukup bergantung dengan ibu dan kemampuannya sendiri.
Ibu Alfin, Warsiti, bekerja sebagai pemulung. Sehari-hari, ia memungut sampah sejak pukul 01.00 WIB hingga pagi hari. Bahkan tak jarang, ibunya harus bekerja lagi hingga siang sampai sore.
Meski begitu, kondisi ini tak membuat Alfin patah semangat dalam belajar. Justru sebaliknya, ia mengaku memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar dengan baik.
Impian Kuliah Sempat Diremehkan Tetangga
Niat Alfin untuk bersekolah dengan baik dan merawat mimpinya ke pendidikan tinggi, bukan hal yang mudah untuk dipertahankan. Sebab, ada banyak perjuangan yang harus dilewati.
Salah satunya, tentang tetangga yang meremehkan mimpi Alfin. Pada saat masih SMA, Alfin mengaku pernah mendapatkan omongan yang kurang mengenakkan dari tetangganya.
“Hal yang paling buruk, pada saat itu, (pernah) pas di desa aku sedang pegang brosur kuliah. Terus tetanggaku bilang ‘emang kamu bisa kuliah?’, dia kayak gitu (ngomongnya),” ungkapnya kepada detikEdu, saat ditemui di gedung Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (4/9/2024).
“Dia (juga) bilang ‘emang kamu mau kuliah? Emang kamu punya apa?’ Gitu. Aku sebagai (seorang) anak yang masih SMA ya sakit banget rasanya digituin,” imbuhnya.
Tak sampai di situ, Alfin juga harus menghadapi orang-orang yang meremehkan pekerjaan ibunya. Terlebih, Alfin sempat hidup dengan ibu dan kedua saudaranya di sebuah indekos kecil.
“Sering (diremehkan). Dulu juga Ibu itu diremehkan sebagai tukang rongsokan sama saudara-saudaranya: ‘emang kamu bisa menghidupi 3 anak?’. Aku juga sering dipamerin saat (ada) yang beli motor. Kayak gitulah pokoknya (pada) membanggakan diri di depanku yang tidak punya apa-apa,” ucap pria kelahiran 1999 tersebut.
Alfin Berhasil Meraih Prestasi dan Lolos LPDP S2 UGM
Meski cobaan datang bertubi-tubi, mimpinya terus dia genggam. Untuk menghadapi hal-hal sulit, ia mengaku memegang prinsip yang dimilikinya erat-erat.
“Aku itu punya prinsip tiga cara hidup bahagia, ada SIB, Sabar Ikhlas Bersyukur, udah itu aja. Ketika aku diremehkan, ketika aku dijatuhkan, aku hanya bisa itu saja. Jadi ketika dapat musibah, aku menjalani takdirku, selalu sabar aja, ikhlas, dan bersyukur,” ungkap Alfin.
Dengan prinsipnya, Alfin tumbuh dengan semangat belajar yang tinggi hingga terus meraih prestasi. Semangat belajar Alfin, pelan-pelan juga menunjukkan perkembangan yang baik.
Selepas lulus dari SMAN Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, ia sempat bekerja selama satu tahun. Namun, karena guru SMA melihat Alfin sebagai anak yang berprestasi di sekolah, kemudian diberi motivasi sekaligus informasi mengenai perkuliahan gratis di Universitas Terbuka (UT).
Akhirnya, Alfin mendaftar dengan prestasi dan nilai rapornya, kemudian diterima sebagai mahasiswa S1 jurusan ilmu hukum pada 2018.
Selama kuliah di UT, Alfin mendapatkan berbagai jenis beasiswa mulai dari Bidikmisi (sekarang KIP Kuliah), Beasiswa Program Indonesia Pintar, Beasiswa Prestasi UT, Beasiswa Juara (IKA UT), hingga beasiswa ICE Institute.
Tak hanya itu, ia juga menorehkan banyak prestasi. Sebut saja, terpilih menjadi Mahasiswa Prestasi Utama di UT, menjadi Finalis PIMNAS 33 dari Kemendikbud RI, hingga menjadi Duta Inspirasi Indonesia dari Kemenpora. Ia pun lulus dari UT dengan predikat sangat baik yakni IPK 3,98 pada 2022.
Setelah lulus atau tepatnya pada 2023, ia mendaftar S2 melalui jalur beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kemenkeu. Mimpi yang selama ini ia genggam dan bawa, pada akhirnya sampai hingga Universitas Gadjah Mada (UGM).
Setelah dulu diremehkan orang-orang, kini Alfin berhasil menjadi seorang mahasiswa pascasarjana UGM dengan status penerima beasiswa LPDP.
“Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk dicapai, yang hanya ada niat terlalu rendah untuk melangkah. Kamu tidak perlu hebat untuk memulai tapi kamu perlu memulai untuk menjadi hebat. Kita harus memberikan yang terbaik bukan menjadi yang terbaik. Pada intinya harus semangat, harus punya motivasi hidup sebagai senjata untuk melawan kemustahilan,” pungkasnya.
(faz/nwy)