Jakarta –
Nama Imam Santoso tak asing lagi bagi pengguna media sosial Instagram. Lewat akun Instagram @santosoim, Imam sering mengunggah cerita orang-orang yang sedang berjuang untuk bisa berkuliah. Siapakah sosok ini?
Dr Imam Santoso, S, T, M, Phil, merupakan dosen di Prodi Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia menamatkan S1 di prodi yang sama (2003-2007), melanjutkan studi S2 di School of Chemical Engineering, University of Queensland, Australia (2011-2013), dan menamatkan studi S3 di School of Chemical Technology, Aalto University, Finlandia (2014-2019).
Selain kontribusinya pada bidang kepakaran, Imam juga rajin mengunggah kehidupan mahasiswanya di ITB yang sedang dibantu olehnya. Di balik sosoknya yang senantiasa membantu mahasiswa, tersimpan cerita penuh perjuangan untuk mencapai pendidikan. Bahkan, tak sekali dua kali ia gagal mencicipi bangku perkuliahan. Bagaimana kisah Imam? Simak berikut ini.
Anak Petani yang Bermimpi Kuliah
Imam lahir dari keluarga petani di Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas, Imam harus menghabiskan masa kecil dalam asuhan neneknya yang berprofesi sebagai buruh tani. Tak hanya mengasuh Imam, penghasilan neneknya juga harus dibagi untuk mencukupi kebutuhan adik-adiknya.
“Ya rumahnya dari bambu yang hampir roboh, lantainya tanah, kalau hujan badai itu sering goyang-goyang kayak mau ambruk gitu, ada tikusnya, ya begitulah pokoknya. Tapi Alhamdulillah happy walaupun hidupnya seperti itu, sama keluarga selalu diajarkan untuk bersyukur, tapi ingat sekolah tinggi,” kenangnya dikutip dari laman Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dikutip Jumat (13/9/2024).
Anak petani itu bercita-cita mengenyam bangku perkuliahan. Tak tanggung-tanggung, Imam ingin mengambil studi Kedokteran. Namun, ia harus menerima pil pahit berupa penolakan dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair).
“Aku dulu bahkan diungsikan ke Trenggalek juga di rumah pamanku, gak keterima jadi dokter kan setahun tuh. Ngapain kalau di desa, kan jadi omongan tetangga, isin (malu) ‘Imam pengen jadi dokter gak lolos’. Akhirnya yang udah diungsikan aja lah biar tenang, sambil jualan kaca, jualan paku di Trenggalek uangnya dikumpulin buat daftar beli formulir SPMB lagi,” kisahnya.
Semangat untuk kuliah kembali membara kala Imam mengunjungi tetangganya yang berprofesi sebagai seorang satpam perusahaan tambang. Melihat rumah apik serta kehidupan yang serba berkecukupan membuat Imam muda berpikir, kalau satpamnya saja bisa sejahtera, apa lagi pegawainya, apa lagi pejabatnya. Pikiran tersebut akhirnya membuat Imam memilih bidang pertambangan, ITB sebagai perguruan tinggi terbaik di bidang tersebut ia bidik dan berhasil.
Panggilan Hati Menjadi Dosen
Lulus dari ITB, Imam merasa terpanggil untuk menjadi dosen. Cita-citanya berada di persimpangan jalan, menjadi dosen artinya ia harus studi lanjut dan tidak bekerja, sedangkan nafkah keluarga tak bisa ditunda.
Memutar otak, Imam akhirnya bertemu dengan sebuah perusahaan asing yang bersedia menyekolahkannya ke Australia dengan jaminan uang saku selama studi dan kesempatan karier. Tahun 2009 Imam berangkat ke University of South Australia.
“Jadi aku nyari waktu itu sekolah yang ada uangnya, akhirnya aku disekolahkan oleh perusahaan asing waktu itu. Tahun 2009 aku berangkat ke Australia. Tapi di tengah jalan bangkrut perusahaannya, bayangin aku sudah di Australia, belum selesai, masih persiapan bahasa gitu, pulang tanpa gelar,” kenangnya.
Meski pulang tanpa gelar, Imam kembali teringat didikan keluarga agar tetap bersyukur dan berprasangka baik terhadap takdir. Kembali bangkit, Imam mendaftar Beasiswa Australia Awards, usahanya tersebut kembali membawanya ke Australia. Ia melanjutkan kuliah di University of Queensland dan jurusan metalurgi yang jadi topik kegemarannya.
“Ya mungkin Allah ingin aku di UQ, sesuai dengan yang aku sukai. Kalau di Adelaide, karena waktu itu dari industri, si industri ini punya topik sendiri yang waktu itu agak setengah hati aku sebenarnya, akhirnya ini (metalurgi di UQ) yang pas banget dengan passion, jadi oh mungkin ini ya hikmahnya,” jelasnya.
Jalan Mulus Menuju Doktor
Lulus dari UQ, Imam sadar bahwa dirinya harus segera S3 agar bisa menjadi dosen. Pada tahun 2014, Imam mendaftarkan diri, tujuan studinya pun kini lebih jauh, sebuah perguruan tinggi dengan profesor yang masyhur di bidang metalurgi, Aalto University di negeri seribu danau, Finlandia.
“Dulu ketika di Australia itu (menulis status) masih ada di facebook, ya Allah aku ingin lihat aurora, ya Allah aku ingin lihat salju, aku ingin ke kutub utara, dan kebetulan ketika di Australia ada mahasiswa (percobaan) dari Finlandia, kemudian eh aku dikenalin lah oleh profesor di sana. Dan memang waktu itu aku mencari metalurgi yang bagus di mana setelah dari UQ, yang bagus tuh Aalto. Semuanya kayak gak tau lah mestakung (semesta mendukung) gitu ya,” ceritanya.
Imam juga menceritakan bahwa dirinya sering menyarankan anak didiknya untuk menempel dinding kamar dengan gambar-gambar seperti Menara Eiffel atau daftar target/cita-cita yang ingin dicapai di masa depan.
Tidak Mau Sukses Sendiri
Sadar bahwa hidupnya berubah drastis karena pendidikan, Imam tergerak untuk menebar semangat yang sama. Sejak masih S1, Imam sering “blusukan” ke sekolah-sekolah pelosok memberikan informasi bahwa ada kesempatan bagi anak-anak yang ingin berkuliah dengan Beasiswa Bidikmisi. Sambil tersenyum mengingat kenangan, Imam mengungkap bahwa kegiatan “jemput bola” tersebut ternyata menarik perhatian para pewawancara saat ia melakukan seleksi LPDP sepuluh tahun lalu.
“Mungkin dia (blusukan) yang membuat aku diterima,” ujarnya.
Sukses berkarier sebagai dosen ITB, Imam masih melanjutkan kegiatan “jemput bola” menjaring talenta-talenta dari keluarga kurang mampu justru semakin masif, bahkan difasilitasi oleh ITB. Dalam setahun, Imam mengaku rutin mengalokasikan waktu dan mengajak rekan-rekan sesama dosen untuk “roadshow” di berbagai daerah hingga di luar Jawa menyebarkan informasi, inspirasi, dan dampak yang lebih besar kepada anak-anak SMA untuk berkuliah.
Keberadaan teknologi seperti media sosial juga ia manfaatkan untuk berbagi inspirasi. Hingga saat ini, akun media sosial instagram Imam @santosoim telah diikuti setidaknya 400 ribu pengikut.
Kepiawaiannya meramu konten yang sederhana dan jujur membuatnya begitu populer tak hanya di kalangan anak-anak muda, namun juga ibu-ibu yang menginginkan anaknya kuliah, ia tenar dijuluki sebagai “Dosen Online-nya Ibu-ibu Indonesia”.
Dengan penuh harap, Imam memimpikan agar pendidikan bisa murah dan mudah diakses oleh masyarakat Indonesia.
“Buat adik-adik atau siapapun kalian yang nasibnya belum beruntung secara ekonomi, ayo sekolah setinggi-tingginya, kini ada beasiswa (LPDP) bisa menjadi elevator hidup kalian, jadi semangat!” pungkasnya.
(nir/nwk)