Jakarta –
Beberapa waktu kebelakang, pembahasan penggunaan susu ikan yang akan jadi menu makan gratis di program Prabowo-Gibran menuai perhatian. Direktur Utama Holding Pangan Id Food, Sis Apik Wijayanto menyampaikan hal ini dalam rapat kerja bersama DPR RI.
ID FOOD adalah perusahaan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan terlibat dalam program susu gratis. Ia menyebutkan perlu impor 2 juta sapi perah untuk mendukung program susu gratis.
Sementara jumlah sapi perah di Indonesia sejauh ini kurang lebih ada 400 ribu ekor. Hingga akhirnya susu ikan dijadikan alternatif untuk pengganti susu sapi.
Menanggapi hal ini, pakar sekaligus dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Dede Nasrullah menjelaskan konsumsi susu ikan sebenarnya bukan hal baru di berbagai negara. Seperti Jepang dan Korea.
“Tren konsumsi susu ikan sebenarnya bukan hal baru di beberapa negara. Di Jepang dan Korea, produk olahan ikan seperti bubuk protein ikan sudah lama menjadi bagian dari diet sehari-hari,” katanya dikutip dari rilis di laman UM Surabaya, Minggu (15/9/2024).
Susu Ikan vs Susu Sapi
Salah satu alasan mengapa susu ikan bisa populer dikonsumsi beberapa negara, karena tentu manfaatnya tak kalah dengan susu sapi. Susu ikan dinilai memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga bisa memberi manfaat kesehatan tambahan.
“Seperti peningkatan kesehatan otak dan jantung,” katanya.
Di Afrika dan India, susu ikan juga mulai diterima sebagai solusi baru untuk memperkuat ketahanan pangan. Lantaran di negara tersebut sumber protein lainnya terbatas.
Dibanding susu sapi, protein susu ikan lebih tinggi dengan tingkat penyerapan mencapai 96%. Susu ikan juga bebas alergen dan mengandung omega-3, EPA, serta DHA.
Dengan demikian bukan hanya solusi sementara untuk mengatasi kurangnya pasokan susu sapi, Dede memastikan susu ikan memiliki manfaat kesehatan jangka panjang. Atas dasar ini, sehingga susu ikan patut untuk dipertimbangkan.
Riwayat Alergi Siswa Perlu Dipastikan
Meskipun dinilai bebas alergen (bahan pangan/senyawa yang menyebabkan alergi), Dede mengingatkan, pemerintah tetap perlu memastikan riwayat alergi konsumen. Dalam hal ini adalah siswa sekolah karena program akan ditujukan bagi peserta didik.
Karena tidak menutup kemungkinan beberapa orang tetap bisa memperlihatkan reaksi alergi pada susu ikan. Kendati demikian, dibanding memikirkan hal buruk ada berbagai sisi positif lainnya.
Salah satunya, susu ikan bisa menjadi alternatif bagi anak yang tidak menyukai ikan karena amis. Ditambah banyak manfaat gizi yang tidak bisa dilupakan.
“Keunggulan ikan dibandingkan dengan sumber hewani lainnya adalah ikan memiliki jenis lemak yang baik dan juga sumber omega 3 yang baik untuk kesehatan, untuk pertumbuhan dan perkembangan otak,” katanya.
Terkait banyak pro kontra di masyarakat, Dede menyatakan hal ini wajar. Karena susu ikan menjadi inovasi baru dalam peningkatan gizi anak dan jadi salah satu jawaban untuk mengatasi stunting.
“Beberapa hal menurut saya yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah memastikan olahan susu ikan mampu menggantikan nutrisi lengkap dari ikan segar dan kandungan proteinnya juga masih tetap sama dan bahkan lebih dari sekadar susu sapi yang selama ini banyak dikonsumsi,” tutupnya.
(det/faz)