Jakarta –
Jepang menjadi salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di Asia, bahkan di dunia. Namun, di wilayah pedesaan-pedesaan Jepang, justrus sekolah-sekolah mulai ditutup. Apa alasannya?
Berdasarkan laporan penyedia data Statista pada 2023, jumlah sekolah di Jepang mulai dari tingkat dasar hingga menengah mencapai lebih dari 20.000 institusi. Keberadaan sekolah ini, terutama di wilayah pedesaan mulai ditutup dan beralih fungsi untuk komunitas maupun kebutuhan masyarakat lainnya.
Apa penyebabnya ya?
Menurut Laporan Survei Populasi (Population Survey Report) pada 30 Agustus 2024, jumlah kelahiran di Jepang telah menurun sebesar 5,7 persen, atau sekitar 20,978, dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Pada 2023, jumlah kelahiran mengalami penurunan sebesar 3,6 persen atau 13.890 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini menandai tahun ketiga berturut-turut jumlah kelahiran di Jepang, turun di bawah 400.000 antara bulan Januari dan Juni, sebagaimana dilansir dari The Independent.
Pada awal tahun 2024 ini, jumlah kelahiran di Jepang turun ke level terendah sejak tahun 1969, menurut data awal pemerintah. Hal ini sekaligus menandai bahwa Jepang tengah mengalami depopulasi.
Di salah satu wilayah pedesaan Jepang, Takigahara, sekolah ditutup karena kekurangan siswa. Bahkan ini telah terjadi lebih dari satu dekade lalu karena jumlah anak yang tersedia tidak mencukupi.
Mengutip TheWorld, kondisi ini bisa terjadi karena sejak awal abad ke-20, kaum muda pindah ke kota untuk bekerja di perkantoran dan pabrik, bukan di ladang dan hutan pedesaan. Tren ini turut berkontribusi pada angka kelahiran di Jepang yang menurun selama 50 tahun terakhir.
Pengaruh Penurunan Demografi ke Kampus-kampus
Asosiasi Universitas Nasional Jepang telah memperingatkan bahwa keuangan perguruan tinggi di negara tersebut telah menghadapi batas kritis, karena adanya pergeseran demografi yang memengaruhi pendaftaran universitas.
Satuan tugas dari Dewan Pusat Pendidikan, sebuah badan penasihat tetap Kementerian Pendidikan Jepang, memperkirakan bahwa jumlah anak berusia 18 tahun di Jepang akan turun menjadi sekitar 820.000 pada 2040.
Kemudian, jumlah mahasiswa baru pada usia tersebut diperkirakan akan menurun menjadi 510.000 orang tahun 2040, turun dari tahun 2023 sebanyak 630.000.
Badan tersebut juga melaporkan bahwa 53 persen universitas swasta sudah kesulitan dengan jumlah pendaftar yang tidak memadai, terutama di wilayah pedesaan.
“Jika situasi ini tidak ditangani, beberapa wilayah mungkin tidak memiliki universitas,” kata pejabat Kementerian Pendidikan Jepang, dalam laporan Japan Times, yang dikutip dari Newsweek, Jumat (13/9/2024).
Bagaimana Pemerintah Jepang Mengatasi Krisis Penurunan Demografi?
Kini, pemerintah tengah mencoba berbagai langkah untuk mengatasi masalah menurunnya demografi. Beberapa di antaranya yakni memperluas fasilitas penitipan anak, menawarkan subsidi perumahan, dan bahkan meluncurkan aplikasi kencan yang dikelola pemerintah untuk mendorong pernikahan dan melahirkan anak.
Dalam hal ini, pemerintah turut mendukung pasangan, termasuk memberikan informasi mengenai keseimbangan kehidupan kerja, pengasuhan anak, bantuan perumahan, keterlibatan laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak, serta konseling karier.
“Penurunan angka kelahiran berada dalam situasi kritis. Enam tahun ke depan hingga tahun 2030, ketika jumlah generasi muda akan menurun dengan cepat, akan menjadi kesempatan terakhir untuk membalikkan tren tersebut,” kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi.
(faz/nwk)