Jakarta –
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada 38 daerah yang masih memiliki calon tunggal. Seluruh daerah ini terbagi menjadi 37 kabupaten/kota dan satu provinsi.
Jika belum ada pasangan calon lain yang mendaftar hingga tenggat yang diberikan KPU, 38 daerah ini terancam melawan kotak kosong.
Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr rer pol Mada Sukmajati SIP MPP mengungkap setidaknya ada 3 penyebab mengapa hal ini bisa terjadi. Hal ini perlu diperhatikan karena pemimpin daerah akan menentukan hajat hidup masyarakatnya.
3 Penyebab 38 Daerah Hanya Punya Calon Tunggal
1. Bentuk Kegagalan Partai Politik
Sosok yang akrab dipanggil Mada ini menjelaskan pasangan calon (paslon) tunggal menjadi bentuk kegagalan partai politik dalam melakukan fungsi mendasarnya. Yakni mencalonkan kadernya sendiri dalam Pilkada.
“Partai politik belum siap sehingga mereka juga tidak mampu menghasilkan alternatif bagi masyarakat,” katanya dikutip dari rilis di laman resmi UGM, Selasa (24/9/2024).
Hal ini harus diperhatikan karena proses seleksi calon kepala daerah pada dasarnya tidak melibatkan masyarakat. Sehingga partai politik seolah enggan membuat terobosan dan membuka ruang-ruang bagi partisipasi publik dalam proses mengusulkan calonnya.
2. Munculnya Politik Transaksional
Politik transaksional mengharuskan para calon untuk membayar dalam jumlah besar agar mereka bisa mendapatkan posisi dalam nominasi atau pencalonan. Akibatnya masyarakat semakin sulit bila ingin mencalonkan diri dan beberapa daerah akhirnya dikuasai oleh politik dinasti.
“Dominasi petahana dan politik dinasti di daerah turut menambah penyebab lahirnya calon tunggal,” tambahnya.
3. Kurangnya Regulasi
Tak hanya masalah di partai politik, Mada menilai bahwa KPU tidak mengatur secara eksplisit peraturan mengenai kampanye kotak kosong. Padahal seharusnya KPU mengatur detail-detail regulasi agar masyarakat dapat mengampanyekan kota kosong.
“KPU tidak mengatur secara eksplisit peraturan mengenai kampanye kotak kosong itu sebab hal ini tidak dilarang, tetapi juga tidak ada pengaturan kalaupun itu dilakukan. Oleh karena itu, menurut saya tantangan ini harus segera direspon oleh KPU,” tutur Mada.
Menurut Mada ada prinsip dalam Pemilu yang harus ditegakkan. Yakni kesetaraan kontestasi sehingga perlu diatur dalam regulasi yang benar tentang kampanye kotak kosong ini.
“Ketika masyarakat tidak dilibatkan, ini bisa menjadi sarana bagi resistensi masyarakat terhadap calon tunggal yang disodorkan oleh partai-partai politik,” jelasnya.
Karena dalam sejarah Pilkada di Indonesia, kotak kosong pernah mengalahkan calon tunggal di wilayah tersebut. Agar hal ini tidak terjadi, maka harus ada regulasi yang dibuat untuk mengakomodasi suara masyarakat.
Calon Tunggal Bukan Hal baru
Pria kelahiran Madiun ini menyebutkan kehadiran calon tunggal di Pilkada pada dasarnya bukan hal baru. Tetapi karena 2024 pelaksanaan Pilkada dilakukan serentak, angka yang terlihat sekilas lebih banyak.
Kendati demikian, Mada mengakui setiap Pilkada ada peningkatan jumlah paslon tunggal. Ini datanya:
- Pilkada 2015: 3 calon tunggal
- Pilkada 2017: 9 calon tunggal
- Pilkada 2018: 16 calon tunggal
- Pilkada 2020: 25 calon tunggal
- Pilkada 2024: 38 calon tunggal
Angka ini memang tidak naik secara signifikan, namun sudah saatnya masyarakat perlu memperhatikan konteks munculnya calon-calon tunggal tersebut. Karena ada dampak yang bisa terjadi.
Misalnya ada calon tunggal di wilayah tambang. kejadian ini merupakan indikasi awal adanya persekongkolan mayoritas partai politik dan memungkinkan adanya dukungan bohir atau pemodal di balik paslon.
Jika paslon tersebut terpilih, ada dampak mengerikan yang bisa terjadi. Dari diberikan kompensasi berkaitan dengan tambang atau pengelolaan kekayaan alam dan korupsi lainnya.
“Daerah ini rentan korupsi politik seperti perizinan pertambangan yang dipermudah dan isu-isu keberlangsungan lingkungan, tata kelola sumber daya pertambangan di daerah itu dan seterusnya,” ucapnya.
Dampak lain yang timbul karena Pilkada paslon tunggal adalah rawannya mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memenangkan paslon. Mada menyebut hal ini rawan terjadi di daerah dengan paslon tunggal yang merupakan petahana.
“Politisasi birokrasi yang seperti ini tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi di Indonesia sehingga prinsip-prinsip meritokrasi, profesionalisme, tata pengelola pemerintahan yang baik itu dipertaruhkan,” tambah Mada.
Dengan keadaan ini, Mada menyimpulkan bila semua pihak perlu berkontribusi untuk menghadirkan Pilkada yang baik. Masyarakat adalah inti atau substansi dari Pilkada.
Ini adalah momentum bagi rakyat untuk memilih kepala daerah sesuai visi dan misi yang berkaitan langsung dengan hidup mereka sehari-hari. Seperti pendidikan dan kesehatan atau kini konteks anak muda yang kesulitan mencari tempat tinggal layak dan pekerjaan yang baik.
“Kini masyarakat yang harus bergerak sendiri agar tidak kehilangan momentum pemilihan ini sebab edukasi politik hampir mustahil datang dari paslon atau partai politik itu sendiri,” jelas Mada
Masyarakat, utamanya anak muda dapat membantu mengedukasi melalui aktivisme-aktivisme digital maupun langsung. Karena anak muda memiliki peran strategis untuk mengembangkan pendidikan politik bagi pemilih.
“Gerakan-gerakan ini dapat dilakukan secara sederhana mulai dari masyarakat akar rumput, dimulai dari keluarga dan teman dekat atau dengan membuat konten-konten edukasi mengenai Pilkada di media sosial,” tutup Mada.
(det/nwk)