Jakarta –
Angkie Yudistia, perempuan yang terlahir Tuli, dikenal sebagai Staf Khusus Presiden pada masa jabatan Joko Widodo 2019-2024. Sepanjang bertugas, ia di antaranya terlibat dalam golnya sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pemenuhan hak penyandang disabilitas, hingga terbentuknya Komisi Nasional Disabilitas (KND).
KND berperan dalam akselerasi komunikasi lintas sektoral. Salah satunya seperti kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendata jumlah disabilitas yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan memproses penerbitannya secara cepat dan tepat.
“Pelantikan keanggotaan KND merupakan komitmen Presiden dalam merealisasikan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,” ungkap Angkie pada detikEdu.
Sementara itu, PP maupun Perpres yang ditetapkan merupakan peraturan turunan dari UU No 8Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sejumlah peraturan tersebut yakni PP No 13 Tahun 2020 tetang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas dan PP No 42 Tahun 2020 tetang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Perlindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas.
“Saya sangat berharap ke depannya, lebih dari 20 juta penyandang disabilitas di negeri ini bisa sama-sama menikmati Indonesia Inklusi, negeri yang ramah penyandang disabilitas,” kata Angkie.
“Mereka bisa mendapatkan hak-hak mereka dengan seharusnya. Bisa juga sama-sama menikmati hasil pembangunan tanpa diskriminasi, serta mendapatkan kesempatan yang setara untuk berkontribusi,” imbuhnya.
Isu Disabilitas dan Pandemi
Aktif sebagai staf khusus Presiden tidak lantas menepis kendala dalam kerja-kerja Angkie. Pada pandemi contohnya, ia terkendala karena semua orang mengenakan masker.
“Di masa itu tantangannya begitu besar, terutama saya yang tidak bisa mendengar, saya yang mengandalkan membaca gerak bibir seseorang, terkendala karena saat itu semua orang menggunakan masker,” tuturnya.
Namun, ia menyadari hambatan-hambatan semasa pandemi juga melanda masyarakat dunia. Terlebih bagi penyandang disabilitas, yang terkendala akses informasi, kebergantungan pada orang lain, dan aksesibilitas.
Merespons kondisi tersebut, ia dan rekan-rekan menggelar program #DisabilitasBisaVaksin sepanjang masa pandemi Covid-19. Program ini memastikan vaksin hibah sampai tepat sasaran kepada penyandang disabilitas.
“Saat itu kita melaksanakan program #DisabilitasBisaVaksin karena semua difabel memiliki hak yang sama sebagai warga negara, termasuk mendapatkan suntikan vaksin,” kata Angkie.
Angkie dan rekan-rekan bersama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) juga melaksanakan sosialisasi bagi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Koperasi (UMKK) milik penyandang disabilitas.
“Hal ini merupakan salah satu upaya mewujudkan pengadaan yang inklusif melalui kerja sama dengan Staf Khusus Presiden bidang sosial dan LKPP,” jelasnya. Selain itu, akselerasi ekonomi inklusif juga dilakukan melalui pembukaan 10.000 rekening bagi penyandang disabilitas, yang memudahkan mereka dalam mengakses perbankan.
Angkie juga menyoroti pentingnya kerja sama lintas sektor dalam mendorong inklusi di bidang kependudukan. Misalnya, program penerbitan dokumen kependudukan bagi disabilitas yang dilakukan bersama Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) melalui acara “Gerakan Bersama bagi Penyandang Disabilitas melalui Pendataan, Perekaman dan Penerbitan Dokumen Kependudukan: Biodata, KTP-el dan KIA untuk mewujudkan Masyarakat Inklusif” di Jakarta.
Berdasarkan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) tahun 2022, sebanyak 754.780 penyandang disabilitas telah tercatat dalam database kependudukan Ditjen Dukcapil.
“Program tersebut merupakan jemput bola identitas para disabilitas untuk mendapatkan KTP elektronik maupun KIA,” kata Angkie.
Menciptakan Lingkungan Inklusif
Lewat bukunya, Menuju Indonesia Inklusi (2023), Angkie menceritakan lebih lanjut perjalanannya mendorong kebijakan inklusi di Indonesia. Dalam bukunya, Angkie mengupas isu-isu krusial terkait inklusi dan menguraikan berbagai aspek penting yang harus diperhatikan pembuat kebijakan.
“Terdapat pembahasan mengenai stigma yang membatasi, pada penjelasannya terdapat ulasan mengenai perspektif HAM,” ungkap Angkie.
Dalam bukunya, ia juga merinci fasilitas dan hak-hak yang seharusnya diperoleh penyandang disabilitas. Melalui tulisan, Angkie menyorot pentingnya penciptaan lingkungan inklusif demi terpenuhinya kebutuhan penyandang disabilitas, mulai dari fasilitas hingga hak dasar lainnya.
Angkie berharap berbagai program dan kebijakan inklusi yang telah diupayakan tidak berhenti pada periodenya saja. Namun, program dan kebijakan tersebut terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh pemimpin berikutnya demi kesejahteraan penyandang disabilitas di Indonesia.
(twu/twu)