Jakarta –
Kedaulatan ruang udara dan ruang antariksa adalah dua aspek yang saling terkait dalam konteks geopolitik dan teknologi modern. Ruang udara, yang mencakup wilayah di atas daratan dan perairan suatu negara, merupakan wilayah kedaulatan yang diatur secara tegas oleh hukum internasional. Namun, kedaulatan ini memiliki batas yang semakin kabur ketika menyangkut ruang angkasa, karena antariksa dianggap sebagai domain yang terbuka untuk eksplorasi dan pemanfaatan oleh semua negara, sesuai dengan perjanjian internasional seperti Outer Space Treaty 1967. Bagi Indonesia, menjaga kedaulatan baik di ruang udara maupun ruang antariksa menjadi semakin penting, mengingat pesatnya perkembangan teknologi antariksa dan persaingan global yang semakin intens.
Kedaulatan antariksa sering kali dipahami sebagai kemampuan suatu negara dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya serta teknologi antariksa untuk kepentingan nasional. Namun, dalam konteks hukum internasional, kedaulatan antariksa bukanlah kedaulatan teritorial, melainkan hak dan kemampuan negara dalam mengelola aktivitasnya di luar angkasa, seperti pengoperasian satelit, pengelolaan spektrum frekuensi, dan pengembangan teknologi roket untuk menjamin akses ke antariksa. Di tengah persaingan global yang semakin ketat dalam pengelolaan spektrum satelit dan inovasi teknologi antariksa, Indonesia harus mengambil langkah strategis untuk memperkuat kemampuannya, termasuk dalam penguasaan teknologi roket dan satelit.
Kedaulatan antariksa menjadi isu yang semakin mendesak bagi Indonesia. Dengan lebih dari 17.000 pulau yang tersebar, teknologi satelit adalah kunci dalam memastikan tersedianya layanan telekomunikasi, penyiaran, mitigasi bencana, dan keamanan nasional. Namun, tantangan global yang dihadapi Indonesia tidak hanya berasal dari kebutuhan teknologi, tetapi juga dari persaingan yang ketat untuk mengelola spektrum satelit. Kehadiran perusahaan-perusahaan besar seperti SpaceX (melalui layanan Starlink), Amazon (dengan Project Kuiper) & Oneweb menambah kompleksitas dalam upaya mempertahankan kedaulatan antariksa Indonesia. Penguasaan teknologi roket dan satelit menjadi solusi strategis yang harus diambil untuk memastikan kemandirian teknologi dan menjaga kepentingan nasional.
Spektrum Satelit: Aset Vital yang Terbatas
Spektrum frekuensi adalah sumber daya terbatas yang sangat penting untuk operasional teknologi komunikasi, termasuk satelit. Spektrum ini memungkinkan pengiriman sinyal antara satelit dan stasiun bumi, yang mendukung komunikasi, navigasi, penyiaran, dan layanan internet. Di tingkat internasional, spektrum ini diatur oleh International Telecommunication Union (ITU), sebuah organisasi yang menetapkan kebijakan alokasi spektrum secara global. Setiap negara memiliki hak untuk mengatur penggunaan spektrum di wilayah kedaulatannya, namun tetap harus mematuhi kerangka kerja internasional.
Indonesia, dengan satelit geostationary (GSO), sangat bergantung pada spektrum ini untuk menyediakan layanan komunikasi yang stabil di seluruh wilayah negara. Satelit GSO, yang beroperasi di orbit tetap sekitar 35.786 km di atas bumi, berfungsi dengan baik dalam memberikan sinyal yang konsisten dan cakupan luas di Indonesia, termasuk di wilayah-wilayah perbatasan dan terpencil. Namun, tantangan baru muncul seiring perkembangan teknologi satelit Low Earth Orbit (LEO) seperti yang dioperasikan oleh SpaceX, Amazon, Oneweb & entitas lainnya.
Satelit LEO, yang beroperasi pada ketinggian lebih rendah sekitar 500-2.000 km di atas bumi, menawarkan kecepatan internet yang lebih tinggi dan latensi lebih rendah. Namun, teknologi ini membutuhkan spektrum frekuensi yang lebih besar untuk mendukung kapasitas dan kualitas layanan tersebut. Ini menciptakan tekanan bagi negara-negara seperti Indonesia, karena perusahaan-perusahaan besar ini mulai menuntut perubahan regulasi spektrum untuk mendukung pengoperasian satelit LEO mereka.
Jika tekanan ini terus berlanjut, perubahan dalam regulasi spektrum global dapat mengganggu hak-hak spektrum yang dimiliki oleh satelit GSO, termasuk yang dioperasikan oleh Indonesia. Ini bisa berdampak buruk pada operasional satelit domestik yang sangat bergantung pada spektrum yang telah dialokasikan selama ini. Selain itu, ada tekanan tambahan dari meningkatnya kebutuhan spektrum untuk implementasi 5G, yang juga mempengaruhi alokasi spektrum yang tersedia bagi satelit.
Selain menghadapi tantangan dalam persaingan spektrum, Indonesia juga perlu memperhatikan potensi dampak terhadap kedaulatan digital dengan masuknya layanan satelit asing seperti Starlink. Starlink, yang dioperasikan oleh SpaceX, menggunakan ribuan satelit LEO untuk menyediakan layanan internet berkecepatan tinggi di berbagai wilayah, termasuk daerah terpencil di Indonesia. Layanan ini dipandang sebagai solusi potensial untuk mengatasi kesenjangan digital, terutama di wilayah yang sulit dijangkau oleh infrastruktur terestrial seperti kabel serat optik.
Meskipun teknologi ini memiliki potensi yang besar, beberapa pihak mengkhawatirkan implikasi terkait kedaulatan data dan kontrol digital, terutama terkait perlindungan data strategis dan sensitif. Selain itu, terdapat pandangan bahwa keberadaan Starlink dapat mempengaruhi ekosistem telekomunikasi di Indonesia. Beberapa operator lokal menyatakan kekhawatiran bahwa layanan ini, dengan teknologi canggih dan dukungan finansial yang kuat, dapat menciptakan tantangan dalam menjaga persaingan yang sehat di pasar telekomunikasi domestik, mengingat banyak perusahaan lokal mungkin tidak memiliki sumber daya yang setara dengan SpaceX.
Penguasaan Teknologi Roket dan Satelit: Kunci Kemandirian Antariksa
Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, penguasaan teknologi roket dan satelit menjadi langkah strategis bagi Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan antariksa. Indonesia melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), yang kini bergabung di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah melakukan berbagai upaya dalam pengembangan satelit dan teknologi antariksa domestik. Pengembangan & peluncuran satelit LEO seperti LAPAN-A1, LAPAN-A2, LAPAN-A3, serta satelit cubesat SS-1, merupakan langkah konkret dalam mewujudkan kemandirian teknologi di sektor antariksa.
Pengembangan satelit ini bukan hanya menjadi langkah simbolis, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di bidang pengamatan bumi, mitigasi bencana, dan komunikasi. Selain itu, satelit-satelit ini berfungsi untuk mendukung layanan maritim dan pertahanan, yang sangat penting bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Untuk mewujudkan kemandirian penuh di sektor antariksa, kolaborasi yang semakin erat antara pemerintah, industri swasta, akademisi, dan lembaga riset perlu terus diperkuat.
Tidak hanya di bidang satelit, Indonesia juga berupaya untuk mempunyai akses ke antariksa, dengan mengandalkan keuntungan geografisnya. Karena peluncuran satelit ke orbit dengan inklinasi rendah menjadi sangat efisien jika dilakukan di Indonesia, beberapa negara spacefaring menyatakan minatnya. Kolaborasi tersebut, membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi penyedia layanan peluncuran di kawasan Asia Tenggara dan bagi kepentingan nasionalnya. Hal ini bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi negara, sekaligus meningkatkan pengaruh Indonesia di industri antariksa global.
Diplomasi Internasional dan Penguatan Regulasi Domestik
Diplomasi internasional adalah komponen penting dalam menjaga kedaulatan antariksa Indonesia. Indonesia perlu terus aktif di forum-forum seperti ITU untuk memastikan regulasi spektrum tetap adil dan tidak hanya menguntungkan negara-negara maju atau perusahaan multinasional. Diplomasi yang kuat sangat diperlukan untuk melawan tekanan dari perusahaan-perusahaan besar yang berusaha mengubah aturan spektrum demi keuntungan komersial mereka.
Selain itu, di tingkat domestik, regulasi yang tegas diperlukan untuk mengatur operasional satelit asing di Indonesia. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap layanan satelit yang beroperasi di Indonesia tunduk pada hukum nasional dan perlindungan data yang ketat. Ini sangat penting untuk menjaga integritas data dan memastikan bahwa teknologi asing tidak mengancam kedaulatan digital Indonesia.
Teknologi sebagai Pilar Kedaulatan Antariksa
Dengan meningkatnya persaingan global untuk spektrum satelit dan tantangan dari layanan asing, Indonesia perlu memperkuat kedaulatannya melalui penguasaan teknologi roket dan satelit.
Penguasaan teknologi ini akan memberi Indonesia kemandirian dalam mengelola ruang angkasa, mulai dari produksi hingga peluncuran satelit, serta memposisikan Indonesia sebagai pemain penting dalam ekonomi antariksa global.
Melalui strategi diplomasi yang kuat, pengembangan teknologi domestik, dan regulasi yang ketat, Indonesia dapat memastikan bahwa kedaulatan antariksa tetap terjaga, sekaligus membuka peluang baru untuk menjadi pusat peluncuran satelit di Asia Tenggara. Dengan demikian, kepentingan nasional dapat terlindungi di tengah persaingan global yang semakin intens.
*) Wahyudi Hasbi
Ahli Peneliti Utama/Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit-BRIN
Ketua Masyarakat Persatelitan Indonesia (MPI)
(nwk/nwk)