Jakarta –
Hidup di era digital, Generasi Z atau Gen Z adalah generasi yang sangat aktif di internet. Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro (Undip), Wijayanto menyebutkan di Indonesia, 185 juta orang menggunakan internet dengan rata-rata waktu 7 jam 38 menit per hari.
Dalam jumlah waktu tersebut, 3 jam 11 menitnya dihabiskan di media sosial. Oleh karena itu wajar bila pengguna media sosial menciptakan ilusi tentang kehidupan yang sempurna.
Hal ini menurutnya mengarah pada fenomena “wang sinawang”. Fenomena ini membuat pengguna media sosial sering membandingkan hidup mereka dengan gambaran kehidupan yang ideal.
“Fenomena ‘wang sinawang’ (adalah) di mana pengguna media sosial, khususnya remaja putri, sering membandingkan hidup mereka dengan gambaran hidup ideal yang diposting oleh orang lain. Ini menyebabkan perasaan tidak puas dan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi,” kata Wijayanto dikutip dari laman Undip, Rabu (9/10/2024).
Tantangan Gen Z di Media Sosial
Sementara itu, media sosial menurut Guru Besar Psikologi Undip, Dian R Sawitri dapat menyebabkan distraksi dan adiksi. Sebagai generasi yang akan mendominasi dunia kerja pada tahun 2025, media sosial tentu memiliki sisi positif.
Seperti memberikan fasilitas dalam hal koneksi sosial, pembelajaran, dan dukungan online. Mereka juga bisa menggunakan media sosial sebagai platform digital untuk mendapatkan informasi hingga ekspresikan diri.
Namun dibalik manfaat tersebut, ada risiko seperti cyberbullying dan konten negatif yang dapat merusak kesehatan mental mereka. Oleh karenanya, media memberikan dampak langsung terhadap kehidupan Gen Z di berbagai aspek termasuk sikap.
Hal tersebut diungkapkan oleh Akademisi Psikologi Undip, Hastaning Sakti. Hastaning menyebutkan bila ada 4 dampak media sosial terhadap kehidupan Gen Z, yakni:
1. Masalah berbahasa
Berbahasa atau menyampaikan sesuatu bisa berbeda di setiap generasinya. Gen Z menggunakan cara berkomunikasi yang lebih cepat dan praktis. Akibatnya muncul berbagai singkatan baru.
Singkatan ini akhirnya menyebar luas. Didukung dengan adanya sosial media, berbahasa ala Gen Z digunakan untuk memudahkan komunikasi.
Tetapi ternyata berbahasa juga bisa menjadi masalah yang membuat hadirnya gap (jarak) antar generasi dalam berkomunikasi. Akibatnya tidak jarang seseorang salah menangkap makna terkait informasi yang disampaikan pada media sosial.
2. Gen Z punya banyak kepribadian
Ciri generasi digital bisa dilihat pada seseorang yang memiliki lebih dari satu kepribadian. Hastaning menyebutkan kebanyakan Gen Z memiliki akun kedua di media sosial.
“Di mana dalam akun tersebut bisa menunjukkan jati diri yang sesungguhnya sementara akun satunya untuk ekspresi tentang dirinya yang lain,” katanya.
Fenomena ini menunjukkan adanya masalah kepercayaan diri. Sehingga Gen Z kerap merasa sulit untuk mendefinisikan siapa mereka.
3. Perilaku minim etika
Perilaku minim etika di Gen Z tidak jarang terlihat ketika mereka berani memaki orang yang lebih tua di media sosial. Padahal mereka berdua tidak saling kenal.
Kejadian lain berkaitan dengan perilaku minim etika adalah fenomena seks bebas yang terus berkembang di Indonesia. Fenomena pernikahan tanpa ikatan resmi semakin marak di kalangan anak muda saat ini.
“Perilaku ini menjadi perhatian serius, karena berkaitan dengan degradasi moral dan sosial,” jelas Hastaning.
Selanjutnya ada masalah kecanduan rokok, narkoba, dan minuman keras (miras) di kalangan remaja yang juga meningkat. Mirisnya hal ini juga terjadi di lingkungan pendidikan.
Untuk menyelesaikannya diperlukan kerja sama dengan berbagai pihak termasuk sekolah dan perguruan tinggi. Jangan sampai Gen Z yang seharusnya menjadi generasi emas harus hilang karena berbagai masalah ini.
4. Kesehatan mental
Kesehatan mental bagi para Gen Z tidak hanya didapatkan dari media sosial. Tetapi juga masalah interpersonal seperti konflik dengan pacar, toxic relationship, konflik dengan keluarga dan berbagai masalah lainnya.
Sayangnya tak jarang Gen Z membawa masalah interpersonal ke ruang publik di media sosial. Sehingga banyak pihak yang ikut terlibat dan memberikan komentar yang mengakibatkan keadaan serius.
Selain itu, obesitas dan gangguan mood seperti depresi atau kecemasan menjadi masalah kesehatan yang sering ditemukan di kalangan remaja dan mahasiswa. Aurora Ardina Fawwaz, seorang Peer Counselor “Kita Teman Cerita” membenarkan bila media sosial sering kali membangan standar yang tidak realitas mengenai pencapaian dan penampilan fisik.
Sehingga Gen Z kerap merasa dirinya tidak berharga dan mendapat tekanan untuk memenuhi penampilan fisik. Untuk mengatasi hal ini, penggunaan media sosial yang bijak sangat diperlukan.
“Menetapkan batasan dalam penggunaan. Seperti membatasi screen time, menentukan tujuan yang jelas dalam menggunakan media sosial, dan berhati-hati dalam memberikan komentar, merupakan beberapa langkah yang bisa diambil untuk menjaga kesehatan mental,” pesannya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Hastaning menyimpulkan keterbukaan dan komunikasi antara orang tua dan anak menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi. Akhirnya Gen Z mencari pembenaran lain di media sosial yang berujung cara berpikir mereka terpengaruhi.
Gen Z bukanlah generasi stroberi yang dianggap rapuh. Hastaning menekankan pentingnya mendidik anak sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di dunia yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
“Dilihat dari populasi penduduk di Indonesia, gen Z menempatkan 29% populasi di Indonesia. Artinya Gen Z akan menjadi generasi emas mendatang, jadi penting untuk Gen Z ini mengembangkan skillnya,” tegasnya.
Selain itu, Gen Z peru mendapat dukungan yang tepat agar bisa berkembang menjadi generasi yang kreatif, inovatif, dan penuh empati. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu fokus dalam memberikan dukungan kesehatan mental.
Termasuk menerapkan kebijakan yang mampu melindungi generasi muda dari risiko kesehatan yang lebih besar.
(det/nwy)