Jakarta –
Asti Shafira memulai lembaran baru sebagai mahasiswa di universitas impiannya. Namun pada tahun ke-3 kuliahnya, Asti harus kehilangan sang ayah dan membuatnya menanggung tanggung jawab baru, menjadi tulang punggung keluarga.
Asti, panggilan akrabnya, saat itu tengah melanjutkan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI). Sebagai mahasiswa semester 5 dan tulang punggung keluarga, Asti harus memutar otak untuk bisa menghidupi keluarga.
“Kehidupanku bener-bener berubah banget. Karena aku anak pertama, dan ibuku nggak kerja, dan aku punya dua adik-adik. Di situlah aku mulai kayak harus bisa bertahan hidup tapi menghidupi keluarga juga,” ceritanya kepada detikEdu dikutip Jumat (18/10/2024).
Pergulatan Mencari Beasiswa
Masih ada 3 semester perkuliahan yang perlu Asti tempuh. Selain memikirkan bagaimana cara membayar UKT di semester selanjutnya, Asti juga perlu membayar hutang UKT yang mencapai belasan juta.
“Karena waktu ayahku meninggal, aku juga punya utang UKT, uang kuliah gitu kan. Sampai itu aku kayak jungkir balik banget lah biar UKT-nya bisa turun dan bisa gratis gitu, terus bisa ngelunasin UKT-nya segala macem,” ujarnya.
Untuk melunasi hutang UKT, Asti perlu mengambil pekerjaan sampingan sebagai penerjemah jurnal, master of ceremony (MC), sampai pendamping mahasiswa pertukaran.
“Lumayan serabutan sih kayak banyak hal yang aku lakukan,” ujarnya.
Kemudian untuk kelanjutan studinya, Asti sampai mendaftarkan diri ke 17 beasiswa.
“Tapi 13-nya ditolak dan aku dapet 4 beasiswa,” ujarnya.
Kerja keras Asti berbuah hasil, ia mendapat Beasiswa PPA dan BBP Kemendistekdikti senilai Rp 84 juta, Beasiswa Marubeni senilai Rp 32 juta, Beasiswa Rumah Kepemimpinan senilai Rp 2,4 juta, dan PCTA Kementerian Pertahanan RI senilai Rp 12,5 juta. Total, Asti menerima beasiswa senilai Rp 50 juta.
Setelah resmi menamatkan studi S1, Asti mengaku dirinya sempat sakit berbulan-bulan lantaran banyaknya tenaga yang ia keluarkan dan pekerjaan yang ia geluti.
“Aku sempat sakit karena selama aku S1 itu kayak lumayan jungkir balik dan sering begadang dan sering banyak side hustle segala macam aku sempat sakit beberapa bulan,” paparnya.
Banting Setir Karier
Setelah mendapat gelar Sarjana, Asti bekerja sebagai business development di industri startup. Ia senang dengan budaya startup yang fleksibel dan membuatnya biasa mengerjakan banyak proyek.
“Terus kayaknya mau bikin sesuatu tuh didengar segala macem gitu. Nah akhirnya aku pengen kayak, aduh aku ya nyaman nih di sini Aku pengen pursue sih business development kayak startup gitu,” jelasnya.
Namun mengingat kebutuhan keluarga dan dorongan ibunda, Asti akhirnya mengikuti rekrutmen CPNS.
“Aku nggak mau sebenernya ya karena kayak aku nggak suka working culture-nya. Nggak cocok lah sama aku yang tipe orangnya terlalu impulsif dan seneng big ideas,” keluhnya.
Patuh pada pesan ibu, Asti akhirnya mengikuti tes dan berhasil diterima sebagai ahli gizi di Puskesmas di Jakarta Barat.
Temukan Mimpi S2
Asti yang tinggal di Tangerang setiap hari harus mengendarai motor ke tempat kerjanya. Ia yang cukup mahir mengoperasikan teknologi berkat pengalaman di tempat kerja sebelumnya akhirnya diminta untuk mengolah data, komputer, sampai membuat presentasi.
“Akhirnya akudijadikanlah beberapa role yang bersamaan aku nutritionist, aku promotor kesehatan juga, penanggung jawab promosi kesehatan, terus aku bagian pengadaan juga. Terusgak lamaCOVID datang,” ujarnya.
Asti Shafira saat Menjalankan Tugasnya Sebagai Ahli Gizi Foto: Dok. Pribadi Asti Shafira
|
Semasa COVID-19, Asti yang bergerak di bidang kesehatan mengaku terlalu banyak pekerjaan yang ia pikul. Ia harus menjadi penanggung jawab, mengolah data vaksin, dan sebagainya.
“Kayaknya gak ada hari di mana aku gak pulang udah gelap jadi kayak pergi gelap, pulang gelap itu udah kayak 2 tahun kayak gitu,” ujarnya.
Melihat kondisi kesehatan masyarakat saat COVID, Asti merasa masih ada yang kurang dari kebijakan kesehatan negara.
“Pembuatan kebijakan kita di tingkat yang lebih tinggi itu masih banyak flaws-nya, masih banyak kekurangannya, dan aku pengin belajar tentang kebijakan,” ujarnya.
Memulai Mimpi S2
Di tengah banyaknya tanggung jawab pekerjaan, Asti mulai memberanikan diri mendaftar S2. Tak tanggung-tanggung, ia bercita-cita untuk melanjutkan studi di Harvard University dan John Hopkins University, universitas-universitas top yang terkenal di bidang kesehatannya.
Mimpi Asti tak langsung mendapat dukungan hangat dari sekitar. Ia mengaku jika dirinya sempat direndahkan karena membidik universitas-universitas top dunia.
“Banyak banget orang yang sepelein. Banyak orang yang ngetawain. Banyak orang yang bilang gak bisa. Banyak orang yang gak mungkin diizinin segala macem gitu,” ujarnya.
“But I break the odds. I break the ceiling. I don’t want to be stereotyped as the way they want to talk about it. Dan menurutku perlu banget mindset anak muda untuk jangan mau didikte sama orang lain,” sambungnya.
Kerja keras Asti berbuah manis. Ia resmi diterima sebagai mahasiswa baru Global Health and Population at Harvard School of Public Health dengan Beasiswa LPDP.
Ingat Mamah
Selama belajar di Amerika, Asti tak melupakan keluarga di Tanah Air. Sejak menginjakkan kaki di kampus terbaik itu, Asti sudah berniat untuk mendatangkan ibunya saat wisuda nanti.
“Aku pingin banget ngebawa mamaku untuk wisuda karena aku pengin ngebuktiin bahwa pengorbanan yang mamaku berikan untuk aku sampai di sini itu worth it,” ujarnya.
Asti pun mulai menabung dengan mengambil beragam pekerjaan. Mulai dari membuat konten sampai menjadi asisten riset.
Asti Shafira dan Mamah di Wisuda Harvard University Foto: Dok. Pribadi Asti Shafira
|
“Akhirnya alhamdulillah, Mei kemarin mama aku ikut ke Boston,” ujarnya bangga.
(nir/nah)