Jakarta –
Kebijakan Pemerintah Australia yang secara resmi melarang anak-anak dan remaja di bawah usia 16 tahun untuk menggunakan media sosial menjadi ramai diperbincangkan di banyak negara. Kebijakan tersebut akan resmi diujicobakan mulai Januari 2025, setelah disahkan oleh Senat Australia pada Kamis, 28 November 2024. Beberapa media sosial yang dirujuk dalam kebijakan tersebut antara lain Instagram dan Facebook (Meta.0).
Kebijakan ini memicu perdebatan sengit antara pihak yang pro dan kontra, bukan hanya di Australia, namun juga di negara-negara lain di dunia, termasuk Indonesia. Seberapa urgen Indonesia untuk kemudian mengikuti langkah pemerintah Australia membatasi penggunaan media sosial bagi anak-anak?
Negara Kanguru, Australia, sebenarnya bukan negara pertama yang melakukan pembatasan penggunaan media sosial. Banyak negara di Eropa yang telah mulai lebih dulu menerapkan kebijakan tersebut.
Inggris telah mengesahkan Undang-undang Keamanan daring pada 2023. Norwegia memberikan usulan menaikkan batas usia penggunaan medsos dari 13 tahun menjadi usia minimal 15 tahun. Prancis pada 2023, telah mengesahkan undang-undang yang mengharuskan platform media sosial untuk mendapatkan persetujuan orang tua saat anak mereka membuat akun untuk mereka yang berada di bawah umur 15 tahun.
Di Jerman anak di bawah usia 16 tahun diizinkan menggunakan media sosial dengan persetujuan orang tua. Italia juga memberikan ketentuan yang hampir sama dengan Jerman, persetujuan orang tua diperlukan bagi anak di bawah usia 14 tahun. Sedangkan di Belanda, meskipun belum ada kebijakan pembatasan usia anak untuk menggunakan medsos, tetapi pemerintah telah melarang penggunaan perangkat seluler di ruang kelas sejak Januari 2024, dengan beberapa pengecualian untuk tujuan khusus.
Kebijakan pembatasan bermedsos, khususnya bagi anak tentu menimbulkan pendapat pro dan kontra. Bagi pihak yang pro, melihat dari perspektif perlindungan anak, terkait dengan aspek tumbuh kembang anak secara fisik, psikis, dan spiritual. Dalam perspektif industri media sosial dan kemajuan teknologi, tentu kebijakan tersebut mendapatkan tantangannya tersendiri. Tentu saja pembahasan pembatasan bermedsos ini, harus dilihat dari sudut pandang anak.
Mendefinisikan anak di Indonesia tentu kita merujuk Pasal 1 angka 1 Undang-undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Definisi tersebut juga sesuai dengan Confention on The Rights of Children (1980) dan definisi dari UNICEF.
Menurut UU No. 23 Tahun 2002, terdapat beberapa hak anak, antara lain hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak perlindungan anak berdasarkan undang-undang tersebut mencakup segenap aspek kehidupan anak, termasuk perlindungan anak di bidang agama, di bidang kesehatan, di bidang pendidikan, atau di bidang sosial dimana salah satunya menyebutkan bahwa anak bebas untuk menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak.
Penelitian Pelegrino dkk (2022), menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir penelitian tentang kecanduan sosial dan penggunaan medsos yang bermasalah mengalami peningkatan yang eksponensial. Penelitian tersebut dilakukan dengan meninjau 501 artikel yang terbit pada 2013-2022 berdasarkan basis data Scopus dengan menggunakan kata kunci kecanduan media sosial dan penggunaan media sosial yang bermasalah.
Hal ini menunjukkan bahwa telah banyak penelitian yang menunjukkan efek negatif dari media sosial sejak dua belas tahun lalu. Satu studi yang dikutip Kardaras menemukan bahwa mahasiswa yang menggunakan media sosial selama lebih dari tiga jam setiap hari sekolah menderita kurang tidur dan prestasi akademik yang buruk. Mereka juga memiliki tingkat depresi, penyalahgunaan zat, stres, dan bunuh diri yang jauh lebih tinggi.
Penelitian Kardaras (2022) menemukan bahwa mahasiswa yang menggunakan media sosial selama lebih dari tiga jam setiap hari sekolah menderita kurang tidur dan prestasi akademik yang buruk. Mereka juga memiliki tingkat depresi, stres, dan bunuh diri yang jauh lebih tinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa anak-anak dan remaja di sekolah menengah sangat rentan mengalami kecanduan media sosial.
Urgency pembatasan bagi anak untuk menggunakan media sosial di Indonesia dapat ditinjau dari dua aspek risiko. Pertama, anak yang belum cukup umur tidak cakap untuk membuat persetujuan. Dalam pasal 1792 KUH Perdata dikatakan “Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.”
Dikaitkan dengan penggunaan media sosial, anak yang belum cukup umur (berusia kurang dari 18 tahun) meminta pengguna untuk memasukkan beberapa data pribadi dan memberikan persetujuan atas Syarat dan Ketentuan yang berlaku dari aplikasi media sosial tersebut. Anak sebenarnya belum mempunyai kemampuan memahami sepenuhnya atas konsekuensi dan tanggung jawab berkaitan dengan persetujuan yang diberikan, termasuk penggunaan data pribadi untuk tujuan marketing/pemasaran aplikasi atau pihak ketiga.
Kedua, anak berada dalam kondisi yang rentan berkenaan dengan fitur akses pada lokasi pengguna. Ketika anak memberikan persetujuan pada aplikasi untuk mengakses lokasi tersebut, maka anak berada dalam kondisi yang rentan terhadap tindak kejahatan tertentu, misalnya penculikan atau perampasan barang berharga atau kejahatan seksual.
Pertimbangan aspek psikologi dan legal menunjukkan adanya kerentanan bagi anak-anak dalam menggunakan media sosial. Kita tentu tidak bisa secara impulsif melakukan pelarangan secara total. Tetapi pembatasan penggunaan, khususnya bagi anak tentu suatu keniscayaan. Posisi anak dalam industri media sosial, tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar (market mechanism). Dalam konteks ini negara harus hadir, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang berorientasi tumbuh kembang anak sebagai generasi masa depan untuk mewujudkan Indonesia Emas. Semoga!!
Gita T. Zahrani
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)
(erd/erd)