Jakarta –
Komunitas Membaca Raden Saleh (MRS) adalah perkumpulan para pembaca novel Pangeran dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Komunitas ini telah berdiri sejak 2022, tepat dua tahun setelah penerbitan buku fiksi sejarah tersebut.
“Komunitas Membaca Raden Saleh ini tidak punya ketua, tidak punya wakil maupun struktur organisasi,” kata Kurnia Effendi saat membuka kegiatan MRS di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia pada (14/12/2024).
“Apa yang membuat kami bisa terus berjalan sampai hari ini karena (komunitas ini) mengalir begitu saja,” imbuhnya.
Kurnia Effendi yang kerap disapa “Kef” menerangkan pendirian komunitas MRS terjadi di tengah situasi pandemi COVID-19.
“Awalnya karena pandemi, begitu buku ini muncul pada 14 Maret 2020, terus sudah tidak boleh keluar lagi selama dua tahun,” jelas Kef.
Atas usul dari pendiri Baca di Tebet, Wien Muldian dan Kanti W Janis, komunitas membaca ini kemudian dibentuk oleh kedua penulis dan editor dari buku Pangeran dari Timur, Endah Sulwesi di Jakarta pada awal Juni 2022.
“Kami bertiga (Iksaka Banu, Kurnia Effendi, dan Endah Sulwesi) bersama Wien Muldian dan Kanti W Janis mendirikan suatu klub baca sebagai salah satu cara memperkenalkan buku Pangeran dari Timur,” ujar sastrawan lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Komunitas ini kian berkembang yang semula berjumlah 35 orang, kini memiliki anggota lebih dari 300 orang, dan terus aktif mengadakan kegiatan membaca setiap bulannya di beberapa tempat.
Komunitas yang Terus Bertumbuh
“Satu kali mendayung, beberapa pulau terlampaui,” kata Kef saat menjelaskan bagaimana komunitas MRS terus bertumbuh.
Komunitas MRS ini pada awalnya didirikan sebagai upaya untuk meningkatkan peminatan para pembaca fiksi sejarah, terutama buku Pangeran dari Timur.
Namun, seiring dengan bertambahnya anggota MRS dari berbagai profesi dan usia, komunitas ini semakin meluas dan bertumbuh hingga melahirkan berbagai komunitas baru, seperti Komunitas Jalan di Menteng, Komunitas Merajut, dan Komunitas Sketsa.
Menariknya, komunitas besutan “dua pangeran” (julukan kedua penulis Pangeran dari Timur) ini tidak pernah membebani iuran bulanan kepada anggotanya.
“Di dalam komunitas ini tidak ada iuran bulanan, kecuali iuran untuk kebersihan dan biaya masuk museum,” ucap Kef.
Selebihnya, komunitas ini mendapatkan banyak dana dari para dermawan yang juga bagian dari anggota MRS. Komunitas ini bahkan secara rutin memberikan novel fiksi secara gratis di setiap pertemuan melalui “kuis” bertema literasi guna meningkatkan minat baca, terutama anak muda.
“Hadiah buku di kuis kami semuanya merupakan sumbangan dari anggota komunitas (MRS),” jelas Kef.
Minat membaca anggota MRS yang tinggi membuat penerbit buku Bentang menggelar pameran buku di setiap kegiatan MRS karena selalu ludes terjual.
Meski komunitas MRS diisi oleh pembaca buku, topik pembicaraan di komunitas ini tidak terbatas pada literasi, tetapi juga meliputi berbagai topik lainnya, mulai dari sejarah; tempat wisata; hingga cerita horor.
Kendati demikian, komunitas ini secara tegas melarang pembicaraan topik mengenai politik dan agama karena dinilai sensitif.
“Kami tidak pernah memaksakan orang masuk ke grup ini, tetapi umumnya (keanggotaan) diajak melalui member to member (anggota ke anggota),” ujar Kef saat menjelaskan siapa saja yang boleh bergabung ke komunitasnya.
Lebih lanjut, Kef berharap novel Pangeran dari Timur dapat segera diadaptasi ke dalam layar lebar oleh para sutradara untuk memperkenalkan pelukis legendaris Indonesia, Raden Saleh.
Memperkenalkan Tokoh Pelukis Indonesia
Novel Pangeran dari Timur adalah fiksi sejarah yang menceritakan riwayat kehidupan Saleh Sjarif Boestaman atau kerap disapa sebagai Raden Saleh.
Meski termasuk cerita fiksi, novel ini ditulis berdasarkan riset terhadap catatan dan fakta sejarah yang dilakukan secara mendalam. Penulisan novel ini bahkan memakan waktu selama hampir 20 tahun.
“Tahun 1999 waktu kita mulai memutuskan untuk menulis Pangeran dari Timur, data tentang Raden Saleh masih sangat langka, terlebih internet yang baru muncul dan belum secanggih sekarang,” kata Iksaka Banu kepada detikEdu.
Menurut Banu, data-data yang selama ini beredar mengenai Raden Saleh biasanya berisi mitos belaka. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa penulisan novel tersebut menghabiskan waktu yang cukup panjang.
“Ketika kita menulis buku mengenai Raden Saleh ini, kita mencurahkan seluruh tenaga kita untuk mencari data,” ujar Banu.
“Orang tahu Raden Saleh pernah bersekolah di Belanda, tetapi detail informasinya saat itu belum ada,” tambahnya.
Keterbatasan data ini kemudian mendorong kedua penulis tersebut melakukan riset lebih jauh ke Belanda. Novel Pangeran dari Timur akhirnya rampung pada 2020 dan menjadi novel pertama yang mengangkat cerita mengenai tokoh pelukis besar di Indonesia.
“Kami sangat berharap buku ini bisa membuka mata orang bahwa Indonesia pernah punya pelukis hebat yang diakui dan dikagumi di mancanegara, tetapi disia-siakan oleh bangsanya sendiri,” tutupnya.
(nah/nah)