Jakarta –
Perdagangan online atau e-commerce telah menjadi gaya hidup transaksi jual beli era baru. Pasalnya, jual beli di e-commerce dinilai lebih mudah dan praktis. Lantas apakah ada sisi negatifnya?
Tak main-main, jumlah transaksi di e-commerce mencapai ratusan triliun. Di Indonesia, pada 2024, diperkirakan transaksi di e-commerce mencapai Rp487 triliun.
Menurut Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, jumlah ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2023 yang mencapai Rp453 triliun.
“Tahun 2024 itu diproyeksi mengalami peningkatan menjadi Rp 487 triliun,” ucapnya dikutip detikFinance, Senin (30/12/2024).
Tak hanya di Indonesia, negara lain seperti Vietnam juga merasakan peningkatan pesat. Di Vietnam, lebih dari separuh penduduknya berbelanja online atau daring.
Sektor e-commerce di Vietnam diperkirakan tumbuh sebesar 18% tahun ini, mencapai nilai US$22 miliar atau sekitar Rp 349,7 triliun. Angka ini menunjukkan tingkat pertumbuhan tercepat ketiga setelah Filipina (23%) dan Thailand (19%).
Sisi Lain di Balik Kemudahan Akses Teknologi
Alih-alih datang ke tempat belanja, berbagai toko yang ada di e-commerce menawarkan pembelian yang mudah dengan hanya akses teknologi. Hal ini, belum ditambah dengan penawaran diskon yang ada.
Meski begitu, dosen dan peneliti dari Universitas RMIT kampus Vietnam, Dr Joshua Dwight, mengatakan bahwa ada hal lain di balik kemudahan akses teknologi, terutama di Asia Tenggara.
Sebab, menurutnya, tak bisa dipungkiri bahwa ranah internet dapat menciptakan peluang bagi penjahat dunia maya yang semakin canggih.
“E-commerce menjadi target bagi banyak penjahat di dunia maya karena sangat mudah diakses dan sulit dikendalikan,” kata Dr Dwight, yang dikenal sebagai peneliti yang memiliki spesialisasi dalam penipuan digital.
Dia mengatakan bahwa penjahat dunia maya menggunakan berbagai taktik untuk mengeksploitasi platform e-commerce. Salah satunya dengan membuat situs web palsu yang menghubungkan seseorang ke situs web e-commerce asli, dengan tampilan dan nuansa yang sama.
“Sementara situs palsu meneruskan informasi Anda ke platform asli untuk menyelesaikan pembelian yang sah, situs tersebut secara bersamaan mengumpulkan data Anda untuk penipuan pada masa mendatang,” jelasnya, dilansir RMIT Vietnam.
Selain menggunakan tampilan web yang menipu, penjahat juga bisa langsung menyerang platform e-commerce itu sendiri. Caranya dengan meluncurkan serangan yang membuat situs web tidak dapat diakses atau dengan mencoba menyisipkan kode berbahaya untuk merusak keamanan platform.
Sistem Iklan pada e-Commerce Bisa Disusupi
Dr Dwight menambahkan, serangan penipuan juga bisa dari sisi lain. Hal ini karena sistem periklanan pada e-commerce dapat disusupi.
“Platform terkadang menjadi sasaran “malvertising”, yaitu iklan yang tampaknya sah tetapi sebenarnya mengarahkan pengguna ke situs palsu. Banyak organisasi, seperti media sosial, tidak melakukan uji terhadap “pemasar” untuk memverifikasi apakah mereka perusahaan sungguhan atau tidak. Mereka biasanya hanya berkonsentrasi pada penjualan iklan,” paparnya.
Di Vietnam, laporan mingguan Pusat Keamanan Siber Nasional kian mengkhawatirkan. Mayoritas web phising teridentifikasi sebagai bank palsu atau platform e-commerce.
Dr Dwight mengatakan mungkin saja penipuan ini adalah sesuatu yang terstruktur yang sistematis dan didukung oleh teknologi. Maka dari itu, sebagai peneliti, dia turut menyelidiki kasus-kasus penipuan ini.
Kejahatan yang Terus Berkembang
Dalam penyelidikannya, peneliti menyoroti cara yang digunakan oleh bandar penipuan. Misalnya, dengan menggunakan situs lowongan kerja dan media sosial untuk merekrut orang dalam pekerjaan palsu dan memperdagangkannya ke Myanmar dan Kamboja.
Mereka yang tertipu, dipekerjakan sebagai pelaku kejahatan dunia maya. Penipuan e-commerce, hanyalah salah satu dari banyaknya kejahatan yang dilakukan.
“Kejahatan ini sangat berbahaya karena dampaknya yang terus berkembang, terdapat potensi berbahaya lebih lanjut yang signifikan,” ujar Dr Dwight.
Dia menggarisbawahi bahwa penipuan daring awalnya terlihat sederhana justru dengan cepat berubah menjadi kejahatan yang lebih serius, seperti perdagangan manusia, kerja paksa, pencucian uang, bahkan kekerasan fisik.
Sementara itu, faktor lain juga bisa terjadi di e-commerce. Mulai dari pembelian fiktif, penipuan keberadaan toko, hingga pemberian ulasan yang diatur.
Maka dari itu, bagi platform e-commerce, mencegah penipuan adalah tantangan yang besar.
“Mereka memiliki dilema etika,” jelas Dr Dwight.
“Apakah mereka menerima potensi kerugian akibat penipuan atau mengambil risiko kehilangan pelanggan dengan langkah-langkah keamanan yang ketat? Dengan persaingan yang semakin ketat, hambatan dalam proses pembelian bisa menghalangi transaksi,” tambahnya.
Dr Dwight menyarankan pendekatan yang melibatkan banyak pihak, termasuk perlunya pedagang memperkuat kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengurangi risiko.
Sementara untuk pengguna, dia menekankan kewaspadaan, terutama di Asia Tenggara, karena perlindungan data pribadi masih lemah.
“Bahkan alamat, nama lengkap, dan nomor telepon Anda bisa menimbulkan banyak kerugian. Jangan bagikan informasi pribadi secara sembarangan dan selalu periksa tautan sebelum mengkliknya,” ucapnya.
Di sisi lain, regulator dan penegak hukum di Asia Tenggara juga menghadapi tantangan besar. Sebab, penegak hukum masih kesulitan menangani kejahatan kecil yang sering bersifat lintas batas.
Oleh karena itu, lanjut Dr Dwight, penting untuk memperkuat kerja sama regional dan protokol respons kejahatan dunia maya yang lebih terstandarisasi.
(faz/faz)