Jakarta –
Prabowo Subianto sempat mengatakan akan mendirikan 300 fakultas kedokteran. Di samping itu, Prabowo mengatakan akan menebar 20 ribu beasiswa kuliah bidang kedokteran serta science, technology, engineering dan mathematics (STEM).
Hal tersebut disampaikan Prabowo sebelum terpilih menjadi Presiden RI 2024-2029 pada penjelasan visi-misi bidang kesehatan dan pendidikan dalam Debat Capres terakhir di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Minggu (4/2/2024).
“Kita kekurangan 140 ribu dokter di Indonesia dan itu akan segera kita atasi dengan cara, kita akan menambah fakultas kedokteran di Indonesia, dari yang sekarang 92, kita akan membangun 300 fakultas kedokteran,” kata Prabowo.
“Kita juga akan mengirim 10 ribu anak-anak pinter dari lulusan SMA. Kita akan beri beri 10 ribu beasiswa untuk kuliah kedokteran dan juga 10 ribu lagi kita akan beri beasiswa untuk belajar sains, teknologi engineering, matematika, kimia biologi dan fisika. Itu kita rebut teknologi, kita rebut sains,” sambungnya.
Sinyal Masalah Pendidikan Dokter
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendiktisaintek Togar M Simatupang menyatakan target Prabowo terkait 300 fakultas kedokteran merupakan sinyal masalah pendidikan dokter.
“Itu sebenarnya menandakan, jadi kami melihat itu sinyal bahwa ada masalah di sini dalam pendidikan dokter. Mahal, misalkan. Pemerataan, misalkan. Jumlah, misalkan. Spesialisnya yang kurang, misalkan. itu kami ambil sebagai sinyal dari Pak Prabowo bahwa ada beragam masalah di dalam pendidikan kedokteran ini,” kata Togar usai rapat kerja Komisi X DPR dengan Kemendiktisaintek di Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Merespons Masalah Distribusi Dokter
Togar menyampaikan, berdasarkan kajian lebih lanjut tentang aspek kuantitas hingga distribusi pada masalah pendidikan dokter, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) resmi bekerja sama dengan Kemendiktisaintek untuk seleksi bersama penerimaan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis/Subspesialis (PPDS).
Kerja sama ini diresmikan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panitia Seleksi Bersama Penerimaan Peserta Didik PPDS dalam rangka memperkuat komitmen Kemendiktisaintek dan Kemenkes dalam menjalankan UU Nomor 17/2023 tentang Kesehatan dan PP Nomor 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17/2023.
“(Kerja sama) itu salah satunya memang (dari) mengkaji bahwa mungkin ada dua (masalah) tadi, baik kuantitas kebutuhan, ada kebutuhan, yang belum terpenuhi, dan juga distribusi. Ternyata distribusi itu bermasalah sekali. Jadi misalkan di Papua itu kecil sekali jumlah dokternya. Sementara kalau di Jawa Barat itu tinggi sekali,” kata Togar.
“Nah, itu yang lagi direformulasi ulang antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dalam (aspek bentuk akses, mutu, bisa terwujud, tapi juga (dalam aspek) pendidikan, kita bisa menghasilkan dokter-dokter yang berkaliber dan juga mereka tinggal di daerah-daerah yang tadi memang redistribusinya masih kurang,” ucapnya.
Kerja Sama Program Pendidikan Dokter Spesialis/Subspesialis (PPDS)
Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro dan Menkes Budi Gunadi Sadikin menandatangani keputusan bersama tentang Panitia Seleksi Bersama Penerimaan Peserta Didik PPDS dalam rangka memperkuat komitmen Kemendiktisaintek dan Kemenkes dalam menjalankan UU Nomor 17/2023 tentang Kesehatan dan PP Nomor 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17/2023.
Mendiktisaintek dan Menkes lalu akan menetapkan teknis tata cara seleksi. Penerimaan peserta didik juga akan mempertimbangkan afirmasi untuk pemerataan distribusi di setiap wilayah.
“Seleksi nasional untuk peserta didik PPDS harus dapat meningkatkan akses yang berkeadilan, dengan tetap berpegang teguh pada kualitas dan kepentingan keselamatan masyarakat. Peserta didik dokter spesialis juga harus dapat dijamin pemenuhan hak dan kewajibannya sesuai dengan amanah UU Kesehatan,” kata Satryo, dikutip dari laman Dikti Kemdikbud pada Kamis (23/1/2025).
Komite Bersama Kemendiktisaintek dan Kemenkes kemudian akan menerbitkan serangkaian kebijakan prioritas untuk meningkatkan kualitas pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia.
Kolaborasi akselerasi pemenuhan dokter dan dokter spesialis secara merata di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak 2022 melalui Keputusan Bersama Mendikbudristek dan Menkes tentang Peningkatan Kuota Penerimaan Mahasiswa Program Sarjana Kedokteran, Program Dokter Spesialis, dan Penambahan Program Studi Dokter Spesialis melalui Sistem Kesehatan Akademik. Kolaborasi tersebut telah menghasilkan 350 prodi dokter spesialis/subspesialis dan 4.000 lulusan per tahun.
Satryo menyorot peningkatan kapasitas produksi tersebut perlu diimbangi strategi pendayagunaan dan distribusi yang efektif berbasis kebutuhan di setiap wilayah. Penyelesaian persoalan akses, kuantitas, dan kualitas pendidikan dokter spesialis/subspesialis membutuhkan sinergi kebijakan kedua kementerian dalam bentuk kerja sama formal.
Kerja sama ini tak hanya melibatkan kedua kementerian, melainkan juga seluruh fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan yang menyelenggarakan prodi pendidikan dokter spesialis/subspesialis.
Kebijakan baru dalam UU Nomor 17/2023 tentang Kesehatan yang mendukung akselerasi tersebut adalah penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis oleh Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) bersama perguruan tinggi (PT).
Saat ini sudah ada kerja sama antara 6 RS Pusat Pendidikan Utama (RSPPU) dengan 4 perguruan tinggi mitra yang memperoleh penugasan, yakni RSJPD Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, dan RS Kanker Dharmais dengan FK Universitas Indonesia; RS Pusat Otak Nasional dengan FK Universitas Airlangga; RS Mata Cicendo dengan FK Universitas Padjadjaran; dan RS Ortopedi Soeharso dengan FK Universitas Sebelas Maret.
Solusi Kekurangan Dokter
Sebelumnya, Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro menjelaskan solusi kekurangan dokter tidak dengan mendirikan fakultas kedokteran baru, tetapi dengan menambah kuota mahasiswa baru di FK yang sudah berdiri, khususnya di perguruan tinggi di daerah 3T.
“Kita stop dulu aja penambahannya (FK) itu,” kata Satryo pada detikEdu di Gedung D Kemendiktisaintek, Jakarta, Jumat (10/1/2024).
“Kalau butuh dokter, jangan buka FK. Tambahlah kuota mahasiswa FK yang ada di tempat-tempat tertentu. Misalnya mau nambah dokter untuk di 3T. Nah carilah FK yang sudah ada, existing, dekat 3T. Tambahlah kuotanya, berapa orang kebutuhannya, didik, lalu salurkan ke 3T,” kata Satryo.
Ia menjelaskan, pendirian fakultas kedokteran baru butuh waktu lama. Proses calon mahasiswa diterima hingga menjadi dokter juga makan waktu.
“FK baru bikinnya lama, lulusnya nggak tau kapan. Iya kalau mutunya baik, kalau belum baik, gimana? Jadi, persepsi butuh dokter dengan buka FK itu gak cocok,” ucapnya.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi pada periode 1999-2007 tersebut mengungkapkan pembukaan FK di berbagai kampus juga jadi salah satu upaya untuk mendapatkan dana tambahan.
FK Baru Jangan Jadi Sumber Dana Tambahan
Menurut Satryo, subsidi pemerintah untuk PTN hanya untuk mendanai sepertiga dari kebutuhan total kampus. Sepertiganya lainnya dari SPP mahasiswa dan sepertiga lagi dari pendapatan tambahan seperti riset dan sebagainya.
Ia mengatakan, PTN Badan Hukum atau kampus otonom seharusnya tetap disubsidi pemerintah dengan besaran semestinya sehingga tidak lantas menggunakan cara-cara seperti membuka FK dan menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
“Saya katakan meski statusnya otonomi, pemerintah tetap memberikan porsi yang selama ini diberikan. Jangan dikurangi. Apabila ada kelebihan bisa dipakai peningkatan mutu,” kata Satryo.
“Sedang kita carikan lagi bagaimana sih kita menata kelola. Satu pihak memang kampus saya lihat ada yang kurang efisien. Ada yang boros memang. Tapi ya kita benahi lagi,” ucapnya.
(twu/pal)