Jakarta –
Penggunaan plastik di masyarakat menciptakan berbagai masalah lingkungan tersendiri. Dalam berbagai riset, Indonesia bahkan disebut sebagai salah satu penghasil sampah plastik terbesar di dunia.
Mengatasi hal tersebut, Guru Besar ke-212 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Dr Hendro Juwono MSi meneliti tentang degradasi plastik dengan biomassa menjadi biofuel sebagai solusi masalah lingkungan dan energi.
Profesor dari Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS yang baru dikukuhkan 6 Februari 2025 lalu itu memiliki fokus penelitian pada bidang polimer dan degradasi plastik.
Ia menjelaskan, polimer sebagai induk dari plastik dibagi menjadi dua yaitu polimer alam dan sintetis jika diklasifikasikan dari asalnya. Polimer alam memiliki sifat yang mudah terdegradasi oleh air, tanah, serta panas; dan terurai kembali ke alam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Polimer alam itu seperti karet, protein, tepung, dan kolagen,” ujarnya dalam orasi ilmiah berjudul Degradasi Plastik dan Co-Reaktan Minyak Biomasa Nyamplung, CPO, WCO Menjadi Biofuel Sebagai Solusi Masalah Energi dan Lingkungan.
Berbanding terbalik dengan sifat polimer alam, polimer sintetis sulit terdegradasi dan terurai kembali ke alam. Contoh polimer sintetis yaitu polietilen, polipropilen, dan polikarbonat dan lain-lain.
Plastik merupakan turunan dari bahan tak terbarukan karena senyawa yang dimiliki oleh plastik memiliki kesamaan dengan senyawa bahan bakar, seperti minyak bumi dan gas.
Melihat hal tersebut, Profesor dari Departemen Kimia ITS tersebut melakukan penelitian dengan metode pirolisis terhadap polimer plastik yang mudah terdegradasi.
Dalam penelitiannya, plastik yang telah diolah tersebut diuji. Hasilnya menunjukkan angka Research Octane Number (RON)-nya mencapai nilai 98 hingga 102.
“Angka RON yang muncul menunjukkan kualitas lebih bagus daripada bahan bakar yang sekarang beredar di masyarakat,” terangnya, dikutip dari keterangan tertulis ITS.
Meskipun angka RON menunjukkan kualitas bagus, tetapi masih ada kekurangan. Untuk membuat limbah plastik menjadi gasoline, butuh suhu sebesar 400 derajat Celcius. Untuk mencapai suhu tersebut, perlu tegangan listrik yang cukup besar.
Sedangkan untuk biomasa sendiri seperti minyak nyamplung, Crude Palm Oil (CPO), dan Waste Cooking Oil (WCO) hanya memerlukan suhu sebesar 250 derajat Celcius.
Untuk menghemat proses biaya, Hendro mencampurkan biomassa nyamplung, WCO, dan CPO tersebut dengan limbah plastik. Ketika biomassa nyamplung, CPO, dan WCO dicampurkan dengan limbah plastik, suhu yang diperlukan dapam prosesnya hanya sebesar 300 derajat Celsius.
Selain untuk menghemat pengeluaran yang besar, bahan yang dibutuhkan juga lebih murah dan mudah didapatkan.
“Sebenarnya limbah plastik itu bukan lagi menjadi masalah lingkungan kalau kita mampu mendayagunakan limbah plastik itu jadi bahan bakar,” ujar Hendro.
Hendro menuturkan bahwa serangkaian penelitian yang ia lakukan untuk orasi ilmiah dalam pengukuhannya sebagai Profesor ITS tersebut turut membantu pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) poin 7 dan 12.
Ia berharap riset yang dilakukan dapat membantu penyelesaian masalah lingkungan dan energi. “Penelitian ini memerlukan kesabaran dan waktu yang cukup lama,” pungkasnya.
(pal/twu)