Jakarta –
#KaburAjaDulu sedang ngetren sejak 2 bulan terakhir ini. Jauh sebelum ada tren ini, Dimas Budi Prasetyo sudah ‘kabur’ duluan ke Taiwan tahun 2016, hingga kini mapan di Belanda.
Dimas dan istrinya, Imee Ristika, kini sudah memiliki pekerjaan profesional sesuai dengan kemampuan, passion, dan impiannya. Dimas juga bisa membeli rumah di Belanda yang menjadi naungan keluarga kecilnya dengan dua putri. Gajinya sebagai pekerja ekspatriat pun cukup lumayan, double income dengan istri.
Terdengar indah ya? Jangan salah, untuk sampai pada titik ini, Dimas harus melalui lika-liku, tersandung, jatuh-bangun mendukung dan menemani sang istri melanjutkan studi hingga doktoral lalu berlabuh di Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lepas Pekerjaan Mapan Demi Temani Istri Studi S3 di Taiwan
Saat berbincang dengan detikEdu melalui GMeet pada akhir Februari 2025 lalu, Dimas menceritakan selepas lulus dari Teknik Elektro Universitas Brawijaya tahun 2014 lalu dan sempat bekerja di pabrik semen selama 2 tahun hingga menikahi sang istri pada Mei 2016. Dimas harus rela melepaskan pekerjaannya yang mapan demi bisa menemani sang istri mengejar pendidikan doktoral di National Sun Yat-sen University, Taiwan pada Agustus 2016.
Sang istri, yang saat itu dalam keadaan hamil muda, mengejar pendidikan S3 bidang Teknik Elektro Telekomunikasi setelah lulus double degree S2 bidang yang sama dari Universitas Brawijaya dan National Sun Yat-sen University, Taiwan. Dalam menemani hari-harinya berkuliah doktoral, Dimas belajar bahasa Mandarin di kampus yang sama agar bisa mendapat visa pelajar untuk tinggal di Taiwan.
Biaya hidup di Kaohsiung, Taiwan bulan-bulan pertama adalah dari tabungan mereka plus beasiswa istri Dimas. Setelah beberapa bulan, Dimas mendapatkan pekerjaan di suatu toko online milik warga Taiwan yang pasarnya adalah WNI di Taiwan pada Oktober 2016.
Sang istri, melahirkan putri pertama mereka di Kaohsiung, Taiwan pada Juli 2017. Di masa ini, sang istri meminta izin untuk cuti sebulan pascamelahirkan di sela-sela studi doktoralnya.
Terpaksa LDR dengan Anak Sejak Bayi
Selepas kelahiran putri pertama, Dimas dan istri kemudian kembali ke Indonesia. Namun rupanya, ada miskomunikasi antara sang istri dengan pembimbing doktoralnya.
“Jadi ceritanya setelah istri lahiran kan itu sebenernya sebelum lahiran sudah bilang sama Profnya untuk cuti lahiran itu selama satu bulan pascalahiran. Profesornya setuju. Nah kemudian selama satu bulan itu ternyata ada kesalahan komunikasi antara istri dan profesornya. Profesornya mengizinkan istri libur tapi masih harus tetap progress report dari rumah gitu untuk riset PhD-nya. Ternyata istri, karena mungkin lagi nggak fokus, namanya ibu baru melahirkan ya, enggak progress sama sekali,” tutur Dimas kepada detikEdu, ditulis Senin (10/3/2025).
Setelahnya, sang istri melalui teman kuliahnya menyampaikan dipanggil Profesor pembimbing S3-nya ke Taiwan, ada sesuatu darurat yang harus diberitahukan.
“Terus Profesornya bilang kamu dipecat gitu, dari PhD-nya. Terus istri mohon-mohon sama Profesornya agar jangan dikeluarkan karena bertekad melanjutkan PhD-nya. Lalu Profesornya bilang, kamu tuh udah jadi ibu sekarang fokusmu udah nggak sama, sudah pasti sudah terbelah karena kamu sudah punya anak. ‘Nggak Prof saya mau memulangkan anak saya ke orang tua di Malang’,” tutur Dimas menceritakan kegigihan istrinya meneruskan studi doktoral.
Komitmen itu membuat Dimas dan istri mesti meninggalkan putrinya yang belum genap berusia 2 bulan untuk diasuh mertuanya alias long distance relationship (LDR) sementara. Faktor lainnya, biaya day care/penitipan anak berusia kurang dari 2 tahun di Taiwan saat itu di luar kemampuan finansial Dimas dan istri saat itu.
“Jadi kalo di zaman tahun 2016-2017 itu anak lahir itu biaya day care di Taiwan untuk anak di bawah umur 2 tahun itu kalo nggak salah waktu itu minimal 16.000 Taiwan Dollar, sekitar Rp 8 juta per bulan. Waduh, karena kami, beasiswanya istri juga terbatas, kemudian saya kerjanya mahasiswa, akhirnya ya enggak ada pilihan lain kecuali memulangkan anak ke Indonesia,” tuturnya.
Sempat Sakit hingga Depresi
Setelah kembali ke Taiwan, sang istri fokus studi doktoral dari Senin hingga Sabtu. Dimas bekerja menjadi kurir antar dari Senin hingga Minggu.
“Jadi nggak ada istirahat-istirahatnya. Kan waktu itu lagi LDR kan ya dengan anak. Jadi ya daripada diam di rumah, bengong kayak gitu, inget anak, ya udah dibikin kerja aja daripada stres ya,” ujarnya.
Tahun-tahun LDR dengan anak di tahun 2017, Dimas mengaku dirinya dan istri sempat mengalami depresi.
“Saking depresinya saya, saking stresnya waktu itu, saya sempet masuk rumah sakit terus dioperasi,” kenang Dimas yang saat itu menderita penyakit dalam.
Akhirnya, Dimas dan istri membawa anaknya lagi ke Taiwan saat sudah berusia 2 tahun, pada tahun 2019. Hal ini juga karena alasan rasional, istri Dimas sudah mencapai tahun terakhir studi doktoralnya dan biaya daycare di Taiwan sudah bisa dijangkau.
“Kami bawa balik (anak) ke Taiwan itu ketika tahun 2019 waktu tahun terakhirnya istri itu setelah umur 2 tahun. Karena di sana kalau daycare di atas 2 tahun itu ya sekitar Rp 2 jutaanlah per bulan. Itu masih bisa dijangkau oleh kami,” tuturnya.
Dari Taiwan ke Belanda
Imee, istri Dimas akhirnya lulus studi doktoral pada Juni 2020 lalu melamar posisi postdoctoral di Eindhoven University of Technology (TU Eindhoven) Belanda.
“Nah kemudian diterima dan kami pindah ke Belanda dari Taiwan ke Belanda tapi sempat pulang dulu di Indonesia selama dua bulan-tiga bulan. Waktu itu kan lagi pandemi, jadi kami posisi 2020 pulang dulu ke Indonesia terus berangkat ke Belanda,” tuturnya.
Pindah ke Belanda pada September 2020 juga tak mulus-mulus saja. Atas saran orang tua, Dimas dan istri LDR lagi dengan putri satu-satunya. Hal ini karena mereka belum ‘mengenali medan’ di Belanda.
Dimas yang dalam posisi belum mendapat pekerjaan, iklim yang mulai masuk musim gugur lalu musim dingin pada Desember plus pandemi yang membatasi mobilitas kembali membawanya pada kondisi murung.
“Nah Desember itu waktu itu lagi pandemi, belum ada banyak teman, akses ke mana-mana terbatas, dibatasi nggak boleh ketemu orang dan sebagainya itu yang bikin kami mengalami yang namanya, orang Belanda bilangnya winter depression. Musim dingin, matahari jarang banget, jadi gelap, terus dingin banget sampai minus itu baru pertama kali. Ke sini kayak kaget begitu,” tuturnya.
Sang istri pun 90% kerja dari rumah, ke laboratorium kampus TU Eindhoven hanya dua hingga tiga kali dalam sebulan. Ritme rutinitas yang sebelumnya berjalan cepat di Taiwan langsung drop saat tiba di Belanda.
Tahun 2021, ada keinginan untuk kembali ke Indonesia. Istri Dimas melamar di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang prosesnya tinggal selangkah lagi. Plus faktor LDR dengan anak, makin kuat faktor pertimbangan kembali ke Indonesia.
“Tahun 2021 kita lagi struggle-struggle-nya karena LDR dengan anak, mikir kenapa nggak pulang ajalah daripada di sini jauh dari keluarga. Terus dia (istri) stres juga dengan keadaan sini dan kebetulan saya waktu itu juga sempet 6 bulan nganggur di Belanda karena lagi pandemi usaha kerjaan, terus akhirnya saya dapat posisi kerja di pabrik waktu itu di Belanda, di pabrik pembuatan material untuk bahan baku ban mobil. Ndilalah kok setelah istri mau dapat posisi di BRIN, antara mau mengambil atau nggak, istri dapat posisi di kantornya sekarang, The Antena Company. Jadi ini perusahaan yang mendesain antena untuk wifi, untuk pokoknya perangkat wifi gitu,” kisahnya.
Dimas sendiri juga mendapatkan pekerjaan kedua di supermarket Asia secara paruh waktu. Karena kondisinya sudah mulai settle sehingga anak mereka yang LDR diboyong ke Belanda.
“Kerjaan kedua saya kerja di supermarket Asia itu direct langsung tanpa agency. Cuma saya kerjanya part time waktu itu karena dengan pertimbangan anak sudah di sini, harus ada yang jagain anak waktu itu karena istri kerjanya full time. Ya udah saya malah kerjanya part time. Dari pagi jam 10 sampe jam 3 sore, anak pulang sekolah saya jemput, udah langsung di rumah sama anak,” jelas dia.
Tak lama Dimas melamar ke perusahaan Taiwan bidang teknologi dengan spesialisasi logistik dan diterima. Pengalaman kerja serabutan di Taiwan, bekal bahasa Mandarin, sudah menulis satu buku hingga latar belakang pendidikan Teknik Elektro membuat user di perusahaan itu menerimanya.
“Kan ini perusahaan Taiwan yang mempunyai kantor di Eropa, ada di Belanda, Paris, UK, Jerman, tapi pusatnya di Belanda. Waktu interview itu, kan saya mencantumkan bahwa saya pernah tinggal di Taiwan dan menguasai sedikit bahasa Mandarin. Waktu interview ditanya sama interviewernya orang Belanda itu ‘Oh kamu punya pengalaman di Taiwan ya?’ Akhirnya dia tertarik dengan CV saya karena bisa bahasa Taiwan dan pernah menulis buku dan karena ada sedikit background Teknik Elektro mungkin jadi pertimbangan mereka untuk menerima,” tuturnya.
Punya Rumah di Belanda Sejak 2023
Sejak pertengahan 2023, dari hasil bekerja, Dimas dan istri akhirnya mampu membeli rumah di Eindhoven, Belanda. Dia memutuskan untuk tetap tinggal di Belanda, apalagi, anaknya sudah sangat senang bersekolah di sini.
“Anak kami yang pertama itu sudah sangat senang sekolahnya di sini. Kemudian dapat sekolahnya itu dari rumah itu cuma 900 meter dan Alhamdulillah sekolah Islam satu-satunya di kota ini, kami jadi lebih nyaman,” tuturnya.
Total 10 tahun merantau ke negeri orang, 4 tahun di Taiwan dan 5 tahun terakhir di Belanda, Dimas dan istri baru merasakan enaknya beberapa tahun belakangan.
“Enak-enaknya baru terasa setelah 2 tahun, 3 tahun terakhir ini setelah 9 tahun merantau,” ucapnya.
Apakah ada rencana kembali lagi ke Indonesia?
“Kalau untuk saat ini sih belum ya. Kalau saya sama istri sih sebenarnya inginnya nanti kalo balik ke Indonesia udah pensiun, udah nggak kerja, jadi ya nunggu anak-anak kuliah. Mau kuliah di sini, mau kuliah di mana aja terserah, kami terus pulang ke Indonesia. Kami di sini juga dapat pensiun, dan pensiun kami bisa diambil dan ditransfer dari Belanda ke Indonesia, kalau kami sudah di sana. Saya pengennya nggak pengen tua di sinilah, bener-bener apapun yang terjadi, Indonesia tetap tempat paling nyaman untuk tinggal
kembali,” tutupnya.
(nwk/nwy)