Jakarta –
Banjir melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) pada momen memasuki bulan Ramadan, awal Maret 2025. Banjir telah menenggelamkan ribuan rumah dengan ketinggian air mulai dari 0,5 sampai 4 meter di beberapa lokasi.
Menurut laporan, hujan dengan intensitas tinggi mencapai lebih dari 110 mm/hari di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan sekitarnya, menjadi pemicu utama banjir. Selain itu, faktor antropogenik seperti perubahan tutupan lahan, penyempitan sungai utama, serta sistem drainase perkotaan yang kurang optimal turut memperparah dampaknya.
Terkait peristiwa ini, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI Dunia) menyampaikan empati dan belasungkawa yang mendalam kepada para korban yang terdampak banjir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sebagai bentuk kepedulian, PPI Dunia telah menggalang dana untuk membantu masyarakat terdampak,” tulis PPI Dunia melalui keterangan tertulis yang diterima detikEdu, Senin (10/3/2025).
Sekelumit Masalah yang Ada pada Banjir Jabodetabek
Dalam hal ini, PPI Dunia turut melakukan analisis terhadap banjir yang terjadi. Secara keseluruhan, PPI Dunia menekankan pentingnya tindakan preventif dan solusi jangka panjang untuk mengatasi bencana banjir yang semakin sering terjadi.
Mahasiswa S3 di Universitas New South Wales, Australia, James Zulfan, menjelaskan bahwa banjir di Jabodetabek bukan hanya disebabkan oleh tingginya curah hujan, tetapi juga oleh perubahan penggunaan lahan yang signifikan.
Berdasarkan analisis menggunakan citra penginderaan jauh BIG, dari tahun 2000 hingga 2017, sekitar 20% tutupan vegetasi di wilayah ini telah berubah menjadi kawasan terbangun.
“Tentu di tahun 2025 ini perubahan tataguna lahan bisa jadi lebih tinggi dari itu sehingga hal ini mengurangi kapasitas daerah resapan air dan mempercepat laju aliran permukaan ke sungai-sungai utama,” ucapnya.
Dalam hal ini, tantangan lingkungan menjadi hal yang kompleks. Menurut mahasiswa S3 di University of Leeds, Inggris, Naufal, curah hujan di Indonesia yang tinggi mengharuskan sistem drainase di daerah hilir harus dirancang dengan lebih baik.
Di sisi lain, ia menekankan pentingnya political will dari pemerintah dalam mengelola tata ruang dan pengendalian banjir secara efektif.
“Aforestasi atau penghutanan kembali, terutama di wilayah hulu sungai seperti Bogor, perlu dilakukan untuk meningkatkan daya serap air dan meminimalkan surface runoff, sehingga dapat mengurangi dampak banjir,” ucap Adhie Marhadi, mahasiswa S3 di Hungarian University of Agricultural and Life Sciences.
Ia juga menyoroti pentingnya keterlibatan seluruh pihak dalam manajemen sampah. Pemerintah, masyarakat, dan perusahaan harus bekerja sama untuk memastikan bahwa sampah tidak menumpuk di saluran air dan sungai, yang dapat menyebabkan penyumbatan dan meningkatkan risiko banjir.
Sementara menurut Nugraha Akbar Nurrochmat, mahasiswa S3 di Warsaw University of Life Sciences, Polandia, pendekatan holistik dalam penanggulangan banjir juga perlu dilakukan, baik di hulu maupun hilir sungai.
Misalnya di wilayah hulu, tutupan vegetasi harus dijaga dan ditingkatkan agar berfungsi sebagai daerah tangkapan air.
“Pembangunan sumur resapan dan bendungan juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan daya serap air dan mengurangi sedimentasi yang mempersempit kapasitas sungai dan saluran drainase. Sementara itu, di hilir, infrastruktur seperti Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat harus terus dipelihara agar tetap optimal dalam mengurangi risiko banjir,” jelasnya.
Maka dari itu, tanggul sungai dan drainase perkotaan harus ditinjau ulang desain periodenya agar dapat lebih tahan terhadap perubahan iklim dan peningkatan debit sungai.
Kemudian, penting untuk dilakukan program pemeliharaan sungai dari sedimen dan sampah domestik melalui pengerukan, termasuk operasional pembilasan (flushing) sedimen dari bendung-bendung yang ada.
Berdasarkan penelitian terbaru, pembilasan melalui pintu-pintu air bendung yang rutin lebih efektif dan ekonomis untuk mengurangi tinggi muka air banjir sehingga bisa mengurangi beban investasi pengerukan secara konvensional di lokasi sekitar bangunan air.
Pemerintah Harus Punya Langkah Tepat
Adhie Marhadi, yang juga merupakan Koordinator PPI, menekankan bahwa Pemerintah RI perlu memiliki kebijakan jangka panjang dengan komitmen yang kuat. Hal ini juga berlaku untuk berbagai pemangku kepentingan.
PPI Dunia berharap bahwa tragedi banjir ini dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan perencanaan tata ruang yang lebih berkelanjutan, memperkuat sistem drainase, serta mengedepankan pendekatan berbasis ekosistem dalam mitigasi bencana.
“Dengan langkah yang tepat, bencana banjir yang terus berulang dapat diminimalkan, sehingga masyarakat dapat hidup lebih aman,” tegasnya.
Di sisi lain, PPI Dunia juga akan terus berkontribusi dalam membantu korban bencana di Indonesia.
(faz/nwk)