Jakarta –
Dampak penghapusan jurusan IPA-IPS-Bahasa bagi siswa SMA tentu lebih banyak baiknya. Namun, kebijakan yang baik jangan jadi membingungkan sekolah. Ketersediaan tenaga guru hingga tunjangan harus disiapkan.
“Wacana penghapusan jurusan ini sudah mengemuka di 2021, dan merupakan rancangan dari implementasi Kurikulum Merdeka akan tetapi seyoginya persoalan ini tentu dilihat dulu dari berbagai sisinya terutama pada hal-hal yang sangat penting,” kata Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Wijaya M,Pd kepada detikEdu, Jumat (19/7/2024).
Ia menyoroti soal ketersediaan guru di lapangan. Pengadaan mata pelajaran (mapel) pilihan harus selaras dengan tenaga pengajar yang ada di sekolah.
“Hal lainnya tentu harus kita antisipasi, bagaimana nanti dengan perbedaan ketersediaan tenaga pendidik di lapangan di mana nanti akan banyak anak itu menumpuk di mapel pilihan peminatan tertentu,” tutur Wijaya.
Menurunya, sebelum kebijakan diterapkan perlu diukur terlebih dahulu soal pemenuhan jam mengajar minimal guru hingga alokasi mengajarnya dalam waktu satu minggu.
“Yang kedua ketersediaan kualifikasi akademis terkait linieritas, kualifikasi akademis dengan mata pelajaran pilihan. Yang ketiga tentu saja infrastruktur ataupun kesiapan ketika dalam peminatan ini ada mapel yang tidak menjadi pilihan,” kata Wijaya.
Ia mengatakan soal kesiapan guru ini sangat penting. Terlebih saat ini sistem pencairan tunjangan guru PPG mengacu pada jam minimal mengajar.
Pasalnya, saat ini masih ada beberapa sekolah yang sudah uji coba kebijakan ini tetapi masih tidak maksimal. Sekolah akhirnya harus mengajak siswa masuk kelas mapel pilihan tertentu karena sepi peminat.
“Sekolah mungkin melakukan hal tersebut karena menyesuaikan dengan ketersediaan tenaga pengajar, menyesuaikan dengan jam minimal guru terutama untuk guru yang membutuhkan pencairan, jadi tidak sesederhana itu implementasi di lapangan,” kata
Guru Bisa Kekurangan Jam Minimal Mengajar Berdampak ke Tunjangan
Ia menegaskan jangan sampai ketika implementasinya kesiapan sekolah dan guru-guru itu masih jauh. Bagaimana pun, implementasi akan diserahkan kepada guru.
“Jangan sampai yang nanti guru kembali jadi korban. Jangan sampai guru jadi kekurangan jam minimal mengajar sebagai syarat untuk pencairan Tunjangan Profesi Guru (TPG), jangan sampai juga pihak sekolah yang terbebankan,” tuturnya.
Sehingga, pihak kementerian atau pemerintah setempat perlu memberikan sosialisasi menyeluruh. Utamanya kepada guru BK dan Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan.
“Perlu ada sosialisasi dan ini tentu perlu pelibatan pihak Wakasek Kesiswaan, guru BK, untuk mensosialisasikan terkait kebijakan ini dan utamanya terkait dengan karier atau peminatan,” kata Wijaya.
Selain itu, guru-guru pun harus diberi pelatihan. Gunanya untuk menghindari kegagalan dalam implementasi kebijakan ini.
“Guru difasilitasi dalam bentuk pelatihan atau bimbingan teknis terkait penghapusan kebijakan jurusan-jurusan di jenjang SMA ini,” ungkapnya.
Selaku guru, Wijaya berharap penghapusan jurusan SMA bisa memenuhi apa yang dibutuhkan siswa. Juga, kebijakan nantinya bisa diterapkan setelah rancangannya sudah matang.
“Harapan saya sebagai guru tentunya kebijakan ini bermaksud baik, namun perlu dilakukan kajian secara matang dan perlu pelibatan semua stakeholder sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan,” pungkasnya.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anindito Aditomo sebelumnya telah menjelaskan bahwa ada tiga alasan dihilangkannya sistem jurusan di SMA.
Pertama, menghapuskan privilese pada jurusan IPA. Kedua, mengembangkan persiapan siswa agar fokus belajar sesuai minat dan rencana studinya. Ketiga, menghilangkan diskriminasi pada siswa yang berasal dari jurusan selain IPA.
(cyu/nwk)