Jakarta –
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) akan mengganti Ujian Nasional (UN) dengan Tes Kompetensi Akademik (TKA). Namun kali ini, TKA tidak menjadi standar kelulusan.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Achmad Hidayatullah mengatakan, guru di sekolah tidak perlu khawatir mengenai hal ini.
“Artinya dengan kebijakan ini, banyak faktor lain yang bisa dijadikan guru sebagai alat untuk menentukan kelulusan,” ujar Dayat dalam laman UM Surabaya dikutip Senin (3/3/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dayat mengatakan, sistem ujian yang bukan penentu kelulusan ini lebih dekat pada paradigma asesmen yang berbasis teori cognitive-constuctivisme.
“Siswa tidak lagi divonis lulus dan tidak, namun lebih didorong untuk membangun sistem mental belajar yang baik. Karena nilai tinggi dan rendah lebih pada hasil dari belajar bukan vonis lulus atau tidak,”imbuhnya lagi.
Upaya Untuk Mengurangi Tekanan Mental Siswa
Dayat melihat jika penggantian UN menjadi TKA ini merupakan upaya pemerintah dalam mengurangi tekanan pada siswa. Selain itu, TKA juga dapat memacu semangat dengan menjadikannya sebagai tiket untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi melalui jalur prestasi.
“Saya melihat ada upaya dari pemerintahan Presiden Prabowo dalam pendidikan, untuk mengurangi tekanan mental siswa sebagaimana yang terjadi pada ujian nasional, namun pada sisi lain mencoba mempertahankan standar pencapaian pembelajaran,”katanya.
Selain itu, Dayat berpendapat jika TKA dapat menciptakan dinamika motivasi guru dengan siswa.
“Menurut saya kebijakan baru ini dapat menciptakan dinamika motivasi guru dan siswa, karena fokus sasarannya lebih pada siswa secara individual,” tegasDayat.
Dayat menyatakan, secara tidak langsung ada upaya dari pemangku kebijakan untuk mendorong sistem sekolah untuk lebih fokus dalam membangun habitus akademik yang baik dari pada memikirkan kelulusan. Sekolah tentunya akan lebih fokus dalam membangun karakter dan pemahaman siswa dengan pembelajaran yang lebih mendalam (deep learning) untuk meningkatkan self-efikasi siswa.
“Kalaupun nilai siswa tidak sesuai dengan harapan, mereka tetap lulus sekolah namun mereka masih memiliki jalur lain untuk masuk ke sekolah atau perguruan tinggi sesuai dengan preferensi mereka,” imbuhnya.
Dayat menegaskan jika tidak ada sistem sempurna. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan komunikasi dengan baik mengenai kebijakan tersebut.
“Jangan sampai konsep bagus ini kemudian dalam implementasinya terjadi banyak kecurangan,” pungkasnya.
(nir/nwk)