Jakarta –
Penerapan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam media massa membawa sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan. Salah satu dampak besar yang ditimbulkan AI yang harus menjadi perhatian adalah penurunan kepercayaan publik terhadap media.
Peringatan ini disampaikan oleh pengamat media yang juga dosen Etika Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Johanes Haryatmoko, dalam wawancara dengan detikcom, Selasa (3/3/2025). Haryatmoko, yang akrab disapa Romo Moko, menjelaskan tantangan utama dalam penerapan AI dalam jurnalisme, yaitu: masalah etika, masalah teknis dan kualitas jurnalistik, masalah sosial ekonomi, serta masalah privasi.
Masalah Etika dan Bias Algoritma
Penggunaan AI di media massa menimbulkan masalah etika yang berkaitan dengan bias algoritma. Menurut Romo Moko, AI dapat mereproduksi dan bahkan memperkuat bias yang ada dalam data pelatihan (training data), yang kemudian menghasilkan berita yang condong ke arah ideologi tertentu atau sangat tendensius dan tidak adil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Romo Moko menambahkan, penggunaan AI juga berisiko menyebabkan penyebaran disinformasi. AI bisa digunakan untuk membuat berita palsu, fake news, atau deepfake yang sangat sulit dibedakan dari berita asli.
“Ini bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap media,” tegas Romo Moko, yang juga anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu, memberi peringatan.
Lebih lanjut, Romo Moko menegaskan AI sering kali memiliki masalah akuntabilitas. Ia lantas mempertanyakan jika AI menghasilkan berita atau laporan yang keliru, siapa yang harus bertanggung jawab?
“Apakah jurnalisnya, perusahaan medianya, atau pengembang AI-nya?” gugat penulis buku Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi tersebut.
Masalah lain yang terkait dengan etika adalah penggunaan data pribadi pengguna oleh AI untuk menyesuaikan berita yang ditampilkan. Hal ini sering kali melanggar privasi pengguna, terutama jika data dikumpulkan tanpa izin atau digunakan secara tidak transparan.
Masalah Teknis dan Kualitas Jurnalistik
Tantangan kedua yang disoroti adalah masalah teknis dan kualitas jurnalistik. Menurut Romo Moko, AI sering kali kurang mampu memahami konteks sosial, budaya, dan politik dalam sebuah peristiwa. Meskipun AI dapat menulis artikel berdasarkan data, ia sering kali gagal menangkap nuansa yang hanya dapat dipahami oleh manusia, terutama wartawan yang memiliki pemahaman mendalam tentang isu-isu tersebut.
“Nah ini beda dengan wartawan manusia yang bisa memahami konteks,” katanya.
Selain itu, algoritma AI cenderung menyajikan berita sesuai dengan preferensi pengguna. Hal ini berpotensi memperkuat echo chamber, di mana pengguna hanya menerima informasi yang sesuai dengan pandangan mereka. Bahaya lainnya adalah homogenisasi konten, yang mengurangi keberagaman perspektif dan mempengaruhi objektivitas informasi yang disajikan.
Masalah teknis lainnya adalah ketergantungan pada sumber data yang terbatas. AI hanya dapat bekerja sebaik data yang digunakannya.
“Jika data tidak lengkap atau bias, maka berita yang dihasilkan pun akan bermasalah,” ungkap lulusan Universitas Sorbonne, Paris ini.
Masalah Sosial Ekonomi
Romo Moko juga mengungkap masalah sosial ekonomi yang bisa muncul dari penerapan AI yaitu ancaman terhadap pekerjaan jurnalis. AI berpotensi menggantikan banyak tugas yang biasa dilakukan oleh jurnalis, seperti menulis laporan olahraga atau berita lainnya.
Selain itu, ketimpangan akses teknologi juga menjadi masalah. Media dengan sumber daya lebih besar akan lebih cepat mengadopsi AI. Hal ini dapat memperlebar kesenjangan antara media besar dan media kecil atau independen. Selain itu juga dapat menyebabkan monopoli informasi, di mana perusahaan teknologi besar mengendalikan aliran informasi, mengurangi keberagaman, dan mengancam kebebasan pers.
Mitigasi Tantangan
Lalu, bagaimana mengatasi tantangan-tantangan penerapan AI di media massa? Romo Moko menekankan perlunya regulasi yang ketat dan etika AI dalam media massa. Ia mengapresiasi pedoman penggunaan AI dalam karya jurnalistik yang dibuat oleh Dewan Pers yang menekankan perlunya kontrol manusia dan transparansi dalam penggunaan AI. Pedoman yang dibuat Dewan Pers, menurut Romo Moko merupakan hybrid approach yaitu menggabungkan antara AI dengan pengawasan atau kontrol manusia untuk memastikan akurasi dan keberimbangan berita.
“Jadi hybrid approach itu menjadi penting,” kata Romo Moko.
Romo Moko juga menegaskan pentingnya literasi digital untuk meningkatkan pemahaman publik tentang bagaimana AI digunakan dalam media agar audiens menjadi lebih kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi.
(iy/nwk)