Jakarta –
Mantan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) 2014-2019 Mohamad Nasir menyoroti ketimpangan pembiayaan pendidikan tinggi pada Kemendikbudirstek dan kementerian/lembaga (K/L) lain.
Nasir mengatakan, bekerja sama dengan KPK RI pada 2017, studi menunjukkan alokasi anggaran perguruan tinggi di Kemendibduristek Rp 7 triliun, sementara perguruan tinggi kedinasan di K/L lain Rp 32 triliun.
“Ketimpangan pembiayaan pendidikan antara kementerian yang mengurusi pendidikan dan K/L. Rp 7 triliun (PTN di bawah Kemendikbud), Rp 32 triliun (anggaran sekolah kedinasan di bawah K/L), ini nggak rasional, mohon maaf,” ucap Nasir pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X dengan Tokoh-tokoh Mantan Menteri Pendidikan di kanal TVR Parlemen, Selasa (2/8/2024).
Nasir mengatakan pembiayaan yang timpang salah satunya berdampak pada gejolak soal Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Ia mencontohkan, tarif pendidikan tertinggi pada prodi S1 di PTN di bawah Kemendikbudristek seperti Universitas Gadjah Mada pada tahun akademik 2019 sebesar Rp 52 juta per tahun. Adapun di Institut Teknologi Bandung sebesar Rp 40 juta per tahun.
Sementara itu berdasarkan data KPK 2018, biaya kuliah suatu PTKL Perhubungan dengan 964 mahasiswa aktif mengeluarkan DIPA Rp 356 miliar. Dengan begitu, biaya kuliah per mahasiswa yakni sekitar Rp 369 juta.
“Ini yang mungkin sinkronisasi dalam penggunaan belanja di dalam pendidikan. Saran kami adalah perlu disinkronkan. Duduk bareng, lah bahasanya. Mungkin menyangkut pada kementerian-kementerian lain yang urusannya adalah pendidikan. Perlu ada pertanggungjawaban yang jelas soal penganggaran pendidikan di kementerian yang mengurusi pendidikan dengan K/L lainnya,” ucapnya.
Capaian Pembelajaran Terdampak
Nasir mengatakan, dukungan anggaran pendidikan tinggi yang tidak memadai akan berdampak pada capaian pembelajaran (learning outcomes).
Ia mencontohkan tarif pendidikan tertinggi kampus Asia Tenggara pada 2019 bagi mahasiswa internasional di Nanyang Technological University (NTU) sebesar Rp 759,3 juta per tahun. Adapun di Universiti Malaya sebesar Rp 448,8 juta per tahun. Sedangkan di Institut Teknologi Bandung sebesar Rp 40 juta per tahun.
“Indonesia sangat rendah semua karena kemampuan (membayar) dan semuanya yang tidak memungkinkan laboratorium dan sebagainya, ini sangat berbeda sekali. Ini yang menjadi permasalahan yang harus kita hadapi, mungkin di dalam masalah bagaimana penganggaran yang ada itu harus kita lihat,” ucapnya.
Ia mengatakan, untuk itu perlu peningkatan Bantuan Operasional Pendidikan PTN (BOPTN). BOPTN membiayai kekurangan atau selisih antara BKT dan UKT yang mampu dibayar mahasiswa.
“BKT termasuk honorarium pengajar, sarana perkuliahan, sarana penunjang, laboratorium, penelitian, pengabdian, dan penunjang lainnya. Kelebihan beban dosen ini harus dibayarkan dari BKT,” ucapnya.
(twu/nwk)