Jakarta –
Para guru memperdebatkan soal perlu-tidaknya Ujian Nasional (UN) digelar. Yang pro mengatakan tak adanya UN bikin motivasi belajar siswa turun. Yang kontra, mengatakan UN ini bikin stres siswa.
Perdebatan itu dilakukan dalam debat spesial Cerdas Cermat Guru (CCG) melalui kegiatan Puncak Temu Pendidik Nusantara (TPN) XI yang digelar Yayasan Guru Belajar di Pos Bloc, Jakarta Pusat pada Sabtu (2/10/2024) kemarin. Topik debat mosi “Kembalinya Ujian Nasional (UN) sebagai Alat Ukur Kelulusan Murid”, para guru berdebat dengan disertai data yang mereka temui di lapangan.
Debat dibuka dengan argumentasi tim pro yang menyebutkan adanya penurunan semangat dan motivasi belajar murid saat UN ditiadakan. Murid merasa tenang dan tidak butuh belajar dengan giat karena adanya kepastian lulus. Sedangkan lulusan dari UN memiliki mental dan daya berjuang.
“Berjuang seperti apa yang diharapkan? Apakah Bapak-Ibu sepakat murid melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri karena hidup mereka ditentukan oleh UN yang hanya 3 hari itu?” respon Andily, peserta dari Kota Bandung, menyoroti adanya murid yang bunuh diri karena tekanan UN.
Penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia (selama dengan pelaksanaan UN) berada pada 10 tingkat terendah. Tim kontra menegaskan, UN meletakkan murid sebagai objek pendidikan yang diukur dengan standar angka yang dipukul sama rata, padahal pendidikan seharusnya mengakomodasi kebutuhan murid.
Jika berbicara alat ukur kompetensi, tim kontra mengusulkan alat tersebut harus meliputi kompetensi kognitif, afektif, psikomotorik, dan bahkan karakter. Soal tertulis di UN tidak bisa membaca kompetensi tersebut secara holistik karena hanya mewakili murid dalam bentuk angka.
Dihubungi secara terpisah, Nissa, rekan satu tim Andily asal Kabupaten Rembang, mengatakan, alasan semangat belajar karena UN perlu dipertanyakan. Menurutnya, UN hanya memberi tekanan bahkan ketakutan. Ketakutan dialami baik murid, orangtua, guru, hingga sekolah yang berujung menjamurnya kecurangan.
Lebih lanjut, Nissa juga menyoroti bagaimana perempuan-dalam hal ini seorang ibu yang juga menjadi istri, mendapatkan kerentanan saat anaknya tidak lulus UN. Ibu, dalam rumah tangga yang tidak ada peran adil dan partisipatif dalam mengurus urusan domestik, rentan mendapatkan kekerasan verbal.
“Dampak dari UN ini seperti rantai yang tidak terputus. Ketika anak tidak lulus UN, kekerasan secara verbal dapat terjadi di keluarga. Pada akhirnya seorang suami dapat menyalahkan istri karena gagal menjadi ibu,” cerita guru yang juga anggota Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN) Rembang.
“Suami yang juga pada dasarnya merasa gagal sebagai kepala keluarga, dapat melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya dengan sikap-sikap yang tidak baik,” demi
TPN Beri Ruang Guru Berpendapat
Total 32 tim dari berbagai daerah berbagi perspektif mengenai isu terkini dalam pendidikan di kelas debat. Selain UN, topik yang diperdebatkan beragam mulai dari pemerataan akses pendidikan melalui zonasi, diskusi ini memperlihatkan pandangan kritis yang jarang diungkapkan di ruang formal.
Setiap argumen yang disampaikan menjadi cerminan pengalaman nyata guru di lapangan, menunjukkan bahwa mereka adalah pihak yang paling memahami apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sesi ini menggambarkan adanya urgensi untuk mendengarkan dan mempercayai suara guru.
“Bagi tim yang berdebat, ini adalah proses belajar, mereka mendapatkan umpan balik dari lawan debat bahkan juri, tim akan melengkapi dan memperkuat argumennya. Bagi penonton debat, ini kesempatan untuk memperkaya perspektif, memantik percakapan lanjutan,” jelas Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan.
Melalui debat, guru diharapkan dapat belajar untuk berani bersuara dan berargumentasi dalam merespons suatu isu.
“Guru, sebagai salah satu pihak yang terdampak langsung dari kebijakan pendidikan, penting untuk selalu dapat berpikir kritis dan menyuarakan pendapatnya untuk mengadvokasikan kebijakan yang lebih baik,” tutur Wakil Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Pandu Ario Bismo salah satu juri debat spesial.
Hadirkan 2.500 Guru se-Indonesia untuk Saling Belajar
Puncak Temu Pendidik Nusantara XI (TPN XI) sukses digelar di Pos Bloc Jakarta pada Sabtu (2/11), mempertemukan lebih dari 2.500 guru secara langsung dan 1.000 peserta nonton bareng di 30 daerah. Dengan tema “Pemimpin Pendidikan Berdaya”, acara ini menghadirkan rangkaian sesi inspiratif, selain kelas debat ada talkshow pendidikan, kelas pendidik, kelas penggerak, pameran karya murid, dan Pasar Solusi Pendidikan.
TPN XI semakin bermakna dengan kehadiran berbagai pihak, di antaranya Iwan Syahril (Dirjen PAUD & Dasmen Kemendikdasmen), Dewi Sandra, Tya Ariestya, Abdel Achrian dan anaknya, Delisha, dan 100 lebih guru dari berbagai daerah yang menjadi pembicara, bahkan dari daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar)
Bukik menjelaskan, transformasi cara belajar guru terjadi di TPN karena TPN memberi kepercayaan pada guru untuk menjadi pembicara.
“Era sebelum TPN, berbagai macam kegiatan membahas soal guru, termasuk seminar, simposium dan lainnya, tapi minim mempercayakan guru sebagai pembicara. Di TPN yang diselenggarakan sejak tahun 2014, guru bukan sekadar mendengar tapi juga didengar, guru layak menjadi narasumber, jadi sumber belajar untuk guru lainnya,” terang Bukik.
Selain itu, di TPN, peserta juga mendapat otonomi untuk menentukan menu belajarnya sendiri. Ada banyak opsi kelas dan mereka dapat memilih kelas mana yang ingin diikuti menyesuaikan kebutuhan masing-masing.
50 Guru Naik Kapal dari Sulsel untuk Belajar di Puncak TPN XI
Ada cerita inspiratif di balik ribuan peserta yang hadir di Puncak TPN XI. Lima puluh peserta asal Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel), berangkat sejak Rabu pagi karena harus melalui perjalanan darat dan laut selama tiga hari dua malam. Lima belas di antara peserta adalah pihak dinas pendidikan yang mendampingi termasuk kepala dinas.
“Sebenarnya kami ingin urunan membiayai tiket pesawat kepala dinas, tapi ditolak. Katanya kalau kami naik kapal ya bapak juga naik kapal, bahkan maunya kamar juga yang ekonomi,” ungkap Rifal, anggota Komunitas Guru Belajar Nusantara Kabupaten Bantaeng, yang menjadi koordinator rombongan.
“Selama di perjalanan banyak nasihat dan semangat dari bapak kadis. Ketika di Puncak (TPN XI) kami harus menyebar ke semua kelas agar saat pulang bisa buat sesi berbagi dari apa yang kami dapatkan di sini. Untuk yang ikut debat juga ditekankan yang penting banyak belajarnya dari argumen tim lain,” tambah Rifal.
Tahun ini bukan pertama kalinya bagi Rifal merasakan puncak acara TPN, pengalaman tahun lalu membuatnya ketagihan untuk terus belajar di forum ini. Menurutnya, ada banyak insight baru dari sesama guru meskipun dari daerah yang berbeda.
“Sejak tahun lalu, saya sudah bertekad, setiap Puncak TPN saya harus ikut karena pasti akan selalu ada hal baru yang bisa saya dapatkan, saya mau upgrade diri,” tutup Rifal.
(nwk/nah)