Jakarta –
Peradaban Islam turut berpengaruh terhadap dunia keilmuan salah satunya di sektor pendidikan tinggi. Beberapa kampus, disebut menjadi cikal bakal studi pendidikan tinggi. Kampus mana yang pertama?
Pakar dari Middle East Institute di National University of Singapore (NUS), Profesor Malik R Dahlan, menerangkan sebuah buku yang menggambarkan kelahiran universitas-universitas modern pertama dalam dunia Islam.
Dalam hal ini, Al-Haramayn, kota suci Mekah dan Madinah, sering digambarkan sebagai universitas tertua dalam Islam. Namun, menurut UNESCO kampus pertama di dunia adalah al-Qarawiyyin dinasti Fatamid di Fez, diikuti oleh Al-Azhar di Kairo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Universitas Al-Qarawiyyin didirikan pada 859 M dan lebih tua 237 tahun dari Universitas Oxford di Inggris yang baru ada pada 1096 M.
Menurut Dahlan, pada era kekaisaran, Kesultanan Ottoman berperan melahirkan institusi pendidikan, seperti sekolah-sekolah madrasah, yang mengajarkan mata pelajaran agama.
“Tetapi juga “ilmu-ilmu rasional” seperti matematika, astronomi dan kedokteran, sudah tertanam kuat dalam masyarakat Ottoman,” terangnya, dikutip dari laman resmi NUS.
Reformasi pada Lembaga-lembaga Kekaisaran
Dalam buku The House Of Sciences: The First Modern University in the Muslim World karya Profesor Ekmeleddin Ihsanoglu, dijelaskan bahwa pada 1839, terjadi sebuah upaya ambisius untuk melakukan reformasi menyeluruh pada lembaga-lembaga kekaisaran.
Tujuannya yakni untuk menjadikan universitas sebagai badan yang mengatur dirinya sendiri, lengkap dengan bentuk dan prosedur yang ada saat ini, mulai dari seminar hingga penelitian doktoral.
“Yang terpenting, lembaga ini akan memungkinkan rezim Ottoman untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan meletakkan dasar bagi pendekatan baru yang birokratis, sekuler, dan terspesialisasi terhadap pengetahuan,” kata Dahlan.
Dalam bukunya, Profesor Ihsanoglu menganalisis apa yang ia sebut dengan “House of Science” Darülfünun, yakni cikal bakal spiritual Universitas Istanbul.
Ia menyajikan analisis mendalam mengenai upaya pertama untuk menciptakan pola bagi universitas Islam modern dengan menggunakan sumber daya Ottoman.
Hasilnya, diketahui bahwa pada masa-masa awal kampus modern Islam pertama, terlalu sedikit dosen untuk mengajar, terlalu sedikit mahasiswa untuk belajar, terlalu sedikit literatur ilmiah yang ada dalam bahasa dan alfabet yang tepat, dan tidak cukup uang di kas negara untuk membayar semuanya.
Dalam konteks pembangunan Universitas Istanbul, meski membutuhkan waktu hampir 20 tahun pada akhirnya selesai berkat dua administrator Ottoman, Âlî Pasha dan Fuad Pasha, yang mensponsori serangkaian kuliah umum populer pada tahun 1860-an dan membeli peralatan ilmiah yang diperlukan untuk eksperimen dari Eropa.
Kurikulum di Kampus Modern Islam Darülfünun
Dahlan menjelaskan, bahwa dari buku Profesor Ihsanoglu, diketahui bahwa pembelajaran di kampus modern awal-awal tidak berjalan lancar. Ini terjadi hingga 1870.
Setelah itu, baru terjadi perubahan di Darülfünun yakni dengan mengikuti versi modifikasi dari kurikulum yang ditetapkan untuk universitas-universitas Prancis. Kemudian, muncul pembahasan teknis serta pedagogi.
Tantangan juga muncul kala konsep kebudayaan Islam, belum langsung bisa dihubungkan dengan matematika dan astronomi. Namun, penerapan ilmu pengetahuan yang dikuasai manusia kala itu, cukup membantu.
“Fuad Pasha mencoba menjembatani kesenjangan tersebut dengan menekankan bahwa ‘filsafat alam’ juga merupakan ‘filsafat ketuhanan’, yang berarti ‘mengungkapkan pengetahuan ketuhanan sejauh yang dapat dipahami oleh diri kita yang rendah hati’,” papar Dahlan.
Bisa dikatakan, lahirnya universitas modern Islam seperti di Turki ini tidaklah mudah. Pada pergantian abad eksperimen, baru mulai membuahkan hasil dalam bentuk proyek infrastruktur seperti jalur kereta api Hijaz dan jaringan jalur telegraf yang membentang dari Albania hingga Yaman.
Selain itu, juga dipengaruhi oleh sekelompok guru muda Ottoman yang mampu menyebarkan modernisasi Eropa dengan ciri khas Ottoman ke seluruh kesultanan. Hal ini kemudian mendukung klaim Ottoman atas kepemimpinan dunia Islam dengan menyebarkan konsep universitas di luar kekaisaran ke wilayah seperti Persia dan Afghanistan.
“Bagian ketiga buku (Profesor Ihsanoglu) memberikan gambaran yang gamblang tentang warisan abadi eksperimen kelembagaan Utsmaniyah dan memberikan wawasan baru mengenai kebijaksanaan konvensional mengenai kemerosotan Utsmaniyah dan peran kaum intelektual lulusan universitas dalam merancang solusi untuk hal tersebut,” tutur Dahlan.
(faz/nwk)