Jakarta –
Melihat limbah tandan kosong kelapa sawit di sekitar sekolah, para siswa SMA Negeri 1 Kelumpang Hilir, Kalimantan Selatan coba mengolahnya menjadi briket kompos. Inovasi mereka rupanya bagian yang terintegrasi dan diakui sebagai pembelajaran di luar kelas.
Kisah belajar di luar kelas dan berinovasi itu diceritakan Udzma Naziihati Mahfuzah, siswa SMA Negeri 1 Kelumpang Hilir di gelar wicara Festival Kurikulum Merdeka di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jumat (5/7/2024).
Naziha, begitu panggilan akrabnya, bercerita sekolahnya berdekatan dengan perkebunan kelapa sawit. Limbah tandan kosong sawit pun coba dikumpulkan siswa untuk diolah hingga menjadi padatan briket praktis yang bernilai tambah sebagai pupuk.
Inovasi ini menurutnya tidak hanya menyuburkan tanah di lingkungan sekolah, tetapi juga mengurangi pencemaran lingkungan. Terlepas dari produk, ia menilai pembelajaran di luar kelas lewat Kurikulum Merdeka mendidiknya belajar menyelesaikan masalah kehidupan nyata.
Belajar di Luar Kelas
Naziha mengatakan inovasi siswa sekolahnya itu merupakan hasil dari pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) Kurikulum Merdeka. PBL ini terintegrasi dengan mata pelajaran kimia dan biologi.
Baginya, pengalalaman belajar langsung di luar kelas juga bantu atasi kebosanan di dalam kelas usai melihat papan tulis berjam-jam.
“Belajar dari briket kompos, bahwa pembelajaran itu tidak hanya bisa di dalam (kelas) saja. jadi kami juga bisa belajar di luar keals gitu, dengan menyenangkan. Bisa tahu langsung, tidak cuma materinya saja,” ucapnya.
Bagaimana PBL buat Siswa yang Tak Aktif?
Pembelajaran berbasis proyek memungkinkan siswa seperti Naziha dan teman-teman makin senang, makin aktif, dan merasakan proses belajarnya bermakna. Di sisi lain, muncul pertanyaan dari seorang guru peserta festival yang menanyakan penyesuaian PBL bagi siswa yang lebih introvert dan kurang aktif.
Merespons kondisi ini, guru SDN di Jakarta dan pegiat pendidikan Galih Sulistyaningra menilai pendidik perlu memahami dulu latar belakang kepribadian sang anak di kelas sebelum membuka kesempatan ikut pembelajaran berbasis proyek.
“Mungkin pendiam, atau ada sesuatu yang belum kita tahu. Sayapun punya beberapa anak yang seperti itu di kelas. Biasanya yang saya lakukan itu pendekatan personal setelah semua anak lain sudah tidak ada di kelas,” tutur awardee LPDP di S2 Education Planning, Economics, and International Development, University College London (UCL) ini.
“Ketika murid-murid sudah pergi, mereka merasa mungkin lebih aman mengungkapkan apa yang terjadi, atau apa yang melatarbelakangi sifat-sifat dia yang kurang aktif,” ucapnya.
Galih menuturkan, asesmen siswa tidak hanya tertulis, tetapi juga bisa lisan dan proyek. Jika anak mengalami sejumlah keterbatasan dan masih berproses untuk jadi percaya diri, guru dapat merancang fasilitas atau pendekatan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Contohnya dengan proyek poster atau gambar.
“Walau tidak seaktif teman-teman yang lain, tetapi dari keterampilan itu dia sebenarnya tetap bisa diakomodasi,” tuturnya.
(twu/nwk)