Jakarta –
Sejak awal tahun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui Climate Outlook 2024 atau Pandangan Iklim 2024 menjelaskan curah hujan pada tahun ini berkisar pada kondisi normal.
Hal ini bisa terjadi karena gangguan iklim dari Samudra Pasifik, osilasi selatan El Niño (ENSO) yang sempat mengancam tanah air pada 2023 mulai melemah. Fase lemah-moderat El Nino terjadi pada awal tahun dan berada di tahap netral hingga akhir tahun.
Namun, fase netral ENSO malah diperkirakan berpeluang berkembang menjadi fenomena La Nina pada semester kedua 2024 (Juli-Desember). La Nina akan memicu kondisi lebih basah dibandingkan kondisi normal sehingga meningkatkan risiko hujan ekstrem.
Menanggapi hal ini, dosen Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (FITB ITB) yang juga pemerhati sistem iklim, Dr Joko Wiratmo MP dan pemerhati masalah lingkungan dan atmosfer dari BRIN Indonesia, Prof Dr Ir Eddy Hermawan MSc menjawabnya melalui data yang ada. Begini penjelasannya.
El Nino dan La Nina Diperhatikan Dunia
Prof Eddy menjelaskan tidak hanya BMKG, tujuh lembaga riset dunia dari Australia, Kanada Eropa, Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang juga melakukan penelitian tentang ENSO. Hasilnya sama bila di bulan Juni hingga Juli 2024 suhu permukaan laut berada pada kondisi normal.
Namun, pada bulan Agustus-Oktober 2024 satu hingga dua lembaga tersebut menunjukkan hasil riset menggambarkan kehadiran fenomena La Nina. Meski begitu, hasil ini menurutnya tidak bisa dijadikan pertimbangan pasti jika La Nina akan terjadi secara global.
“Prediksi dari lembaga lainnya tetap menunjukkan kondisi iklim normal,” katanya dikutip dari rilis di laman resmi ITB, Jumat (12/7/2024).
Fenomena La Nina bisa terjadi ketika suhu permukaan laut berada pada rentang penyimpangan kurang dari -0,5 derajat Celcius. Sedangkan El Nino terjadi saat suhu permukaan laut ada di rentang lebih dari 0.5 derajat Celcius.
Prediksi berbagai institusi dunia menyatakan pada 2024 suhu permukaan laut saat ini berada pada rentang -0.5 °C sampai 0.5 °C yang memiliki arti kondisi netral.
Meski begitu, Prof Eddy menjelaskan bila memandang kondisi cuaca dan musim di Indonesia tidak bisa hanya terfokus pada La Nina atau El Nino saja. Karena keadaan Indian Ocean Dipole (IOD) dapat meredam La Nina.
“Seberapapun besarnya kekuatan La Nina, kalau oleh IOD diredam, maka tidak akan memberikan impact yang besar,” ujar Prof Eddy.
Prakiraan Fenomena La Nina
Terkait kapan terjadinya La Nina, Dr Joko menyebutkan setiap daerah memiliki waktu yang berbeda tergantung wilayah dan sumber lembaga riset yang ada. Karena keadaan suhu permukaan laut yang netral, meskipun beberapa daerah mengalami kondisi kering tidak akan parah dibanding saat El Nino menyerang.
“Terkait beberapa daerah di Indonesia seperti Jakarta hingga Banten, kalaupun ada kondisi kering di bulan Juni, Juli, Agustus (JJA), kondisi kering tidak akan parah dan peluang terjadinya hujan tidak akan berkurang atau bertambah signifikan,” katanya.
Untuk mengetahui lebih detail, Dr Joko menyarankan untuk mencari informasi secara langsung kepada BMKG. Karena lembaga tersebut menggunakan data observasi yang lebih rinci dan tentu menghindari kesimpangsiuran informasi dan berita hoaks mengenai cuaca dan iklim di wilayah Indonesia.
“Merekalah yang mempunyai hak resmi untuk menyatakan kondisi wilayah Indonesia. Apa yang kami sampaikan merupakan gambaran umum serta analisis cuaca dan musim yang kemungkinan akan terjadi dari perspektif regional global,” tutupnya.
(det/faz)