Jakarta –
Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta Badan Anggaran (Banggar) DPR RI untuk memformulasi ulang acuan belanja wajib (mandatory spending) anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari pagu belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Sri Mulyani, jika dari acuan belanja, Pemerintah RI kesulitan untuk mencari anggaran di tengah kondisi negara yang sangat dinamis.
“Kami sudah membahasnya di Kementerian Keuangan, ini caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi, 20 persen setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan. Kalau 20 persen (anggaran pendidikan) dari belanja APBN, dalam belanja itu banyak ketidakpastian, itu anggaran pendidikan jadi kocak, naik turun gitu,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Rabu (4/9/2024).
Merespons permintaan tersebut, Ketua Komisi X DPR RI menyatakan pihaknya menolak permintaan revisi mandatory spending atau belanja wajib anggaran pendidikan tersebut. Menurut Huda, jika belanja wajib anggaran pendidikan direvisi, maka perbaikan kuantitas dan kualitas sektor pendidikan RI belum tentu akan terjamin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kami tidak setuju utak-atik anggaran pendidikan yang diusulkan Ibu Sri Mulyani, yang rencana 20 persen anggaran pendidikan bukan dari belanja APBN, tetapi dari anggaran pendapatan,” kata Huda pada Diskusi Kelompok Terpumpun Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan di Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel, Jakarta Selatan, Sabtu (7/9/2024).
Huda menjelaskan, permintaan tersebut berisiko berdampak pada penurunan alokasi anggaran pendidikan dari APBN. Akibatnya, kualitas layanan pendidikan di Indonesia turut menurun. Sementara itu, dengan anggaran saat ini, masih ada anak yang terkendala biaya untuk sekolah dan pemerataan pendidikan masih jadi masalah.
“Saya kira ini akan menambah berbagai persoalan baru di dunia pendidikan kita. Komisi X tegas menolak dan menyatakan bahwa mandatory 20 persen anggaran pendidikan tetap harus dari belanja APBN. Karena konsekuensinya kalau (20 persen) dari anggaran pendapatan, ada penurunan Rp 130 triliun yang semestinya tetap ada dan terjaga dengan skema 20 persen dari belanja APBN,” sambungnya.
Anggaran Pendidikan dalam UUD 1945
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008 Jimly Asshiddiqie mengatakan, anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sendiri saat ini hanya mencerminkan angka formalitas saja. Sedangkan pada alinea empat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan salah satu tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jimly mengatakan, mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal ini bukan bicara soal kecerdasan perorangan, tetapi kolektivitas kehidupan berbangsa. Kecerdasan kolektif di sisi lain juga bertumpu pada tingkat kecerdasan kehidupan tiap individu rakyatnya, baik yang terkait kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan hidup terorganisasi secara melembaga (institutional intelligence).
“Asal mencapai 20 persen saja, dalam 20 persen APBN dan APBD,” ucapnya. “Mantapkan dulu kesungguhan ideologis kita, harus jadi sikap bahwa pendidikan harus diutamakan, dan anggarannya 20 persen untuk mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga kolektivitas kehidupan bangsa ini cerdas.”
Jimly menegaskan mengatakan, medium terpenting mencerdaskan kehidupan bangsa adalah pendidikan formal, mulai dari PAUD hingga pendidikan menengah, serta pendidikan tinggi. Pendidikan dasar, menengah, dan menengah atas sendiri dapat diintegrasikan ke dalam pengertian “pendidikan dasar” dalam arti luas sebagaimana Pasal 31 ayat (2) UUD 1944 menyatakan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
“Kuncinya harus dilakukan perbaikan serius, dimulai dari tahap perencanaan dan penganggaran oleh Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Kemenkeu yang pada waktunya dibahas bersama dengan Banggar dan Komisi X DPR RI serta Komite IV DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI,” kata Jimly.
(twu/nwk)