Jakarta –
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 8 Jakarta yang kerap ditulis SMANDel tak cuma dikenal kerap kebanjiran karena lokasinya di bibir Sungai Ciliwung. Sekolah di Taman Bukit Duri, Tebet Jakarta Selatan yang mulai berdiri pada 21 Agustus 1958 itu juga biasa banjir prestasi. Hampir setiap angkatan lulusannya mayoritas diterima di perguruan tinggi negeri favorit, seperti UI, ITB, IPB, UNPAD, UGM, dan AKABRI. Apa rahasianya bisa demikian, bagaimana cara guru mengajar dan para murid belajar?
“Sebenarnya tak ada yang istimewa, karena secara resmi ini sekolah negeri sama dengan SMA lain di Jakarta maupun di seluruh tanah air,” tulis Suradi, mantan Guru Sejarah SMA 8, dalam buku “Jalan Sunyi di Taman Bukit Duri” yang terbit Juni 2024.
Buku setebal 561 halaman ini berisi kisah 51 guru SMAN 8 Jakarta sejak awal berdiri hingga era sekarang. Juga ada cerita kepemimpinan tiga dari belasan kepala sekolah SMAN 8, yaitu Agusman Anwar yang melahirkan motto “SMAN 8 Rajawali Emas: Cerdas, Tangguh, dan Peduli”, Rita Hastuti yang menerapkan berbagai strategi belajar-mengajar selama masa Covid-19 sehingga sekolah ini tetap di puncak prestasi, dan Mukhlis M Lizar yang memimpin di era zonasi dan afirmasi.
Menurut Suradi, salah satu yang membedakan antara SMAN 8 dengan SMA lainnya adalah etos belajar para murid, etos mengajar para guru, serta kepedulian dan soliditas alumni dalam membantu adik-adiknya.
Suradi (paling kiri) guru SMAN 8 Jakarta Foto: (Dokumentasi Suradi)
|
“Para alumni biasa diundang untuk berbicara tentang kampus mereka, sehingga para siswa terinspirasi dan termotivasi,” tulis Suradi.
Para guru SMAN 8 Jakarta dikenal kreatif dan disiplin dalam mendidik para muridnya, sekaligus membimbing dan mendampingi mereka. Di antara para guru juga saling mendukung dan memotivasi. Di buku ini, Elly Siti Rachmalia antara lain mengisahkan keluh kesah sejawatnya yang baru pindah dari daerah. Si guru mengeluh karena saat mengajar siswa di kelasnya cuma 5 orang, karena yang lain memilih keluar kelas.
“Mungkin beliau biasa ngajar di sekolah sebelumnya tanpa persiapan, sedangkan siswa-siswi di SMAN 8 umumnya pintar dan kritis. Mereka tak mau diajar oleh guru yang tidak siap,” kata Elly yang mulai mengajar Matematika sejak 1982 hingga 2017.
Lain lagi dengan Teguh Priyanto yang menjadi guru fisika sejak 1999. Suatu hari dia mengaku didatangi seorang muridnya yang dikenal malas, nakal, dan kerap bikin ulah di sekolah. Hampir semua guru pernah menasihati hingga melempar penghapus saking jengkelnya karena ulah si murid. Mungkin salah satunya karena itu dia datang dan meminta maaf. Tapi apa yang terjadi beberapa dekade kemudian?
“Menurut teman-temannya dia sudah jadi guru besar di Amerika Serikat. Nasib orang tidak ada yang tahu. Saya penasaran, andai diberi kesempatan bertemu, saya mau peluk dia erat-erat,” tutur Teguh.
Namun di lain kesempatan, lelaki kelahiran 26 Agustus 1972 itu mengaku pernah diancam akan dipidanakan oleh orang tua murid. Gegaranya si orang tua tak terima nilai anaknya jeblok. Menghadapi ancaman seperti itu, Teguh memperlihatkan scan hasil nilai harian dan absensi si murid yang memang dikenal malas dan sering bolos sekolah.
“Alhamdulillah si orang tua mengerti dan menganggap masalahnya selesai,” katanya.
Selain mengajar Fisika, puncak karir Teguh adalah Wakil Kepala Sekolah bidang Sarana Prasarana dan Humas, 2010 – 2021. Selain itu, lulusan IKIP (kini Universitas Negeri Jakarta) itu pernah mendampingi para muridnya melakukan kunjungan ke Jepang.
Namun soal ‘pelesiran’ ke luar negeri, Roni Saputro, guru sejarah yang dikenal suka guyon, lebih sering melakukannya. Selain ke Jepang, Roni yang pernah menjadi pelatih sepak bola di SMAN 8 Jakarta juga pernah ke Jepang dan Australia untuk melakukan studi banding. Pada 2014 – 2020, Roni Saputro dipercaya menjadi Kepala Sekolah bidang Kesiswaan.
Kisah para guru SMAN 8 Jakarta ini dikuatkan maknanya dengan narasi pengantar dari Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbudristek Prof Dr Nunuk Suryani. Juga ada sambutan dari Ketua Ikatan Alumni SMAN 8 yang juga Wakil Menhan RI, Letjen TNI (Purn) M Herindra.
“Bagi saya buku ini merupakan salah satu keeping dari memori kultural bangsa ini, memeori tentang guru-guru yang tak hanya mengajar di kelas, tapi juga melakukan aksi nyata lainnya untuk membangun manusia Indonesia yang maju dan beradab,” tulis Nunuk Suryani.
(jat/nwk)