Jakarta –
22 atau 23 tahun biasanya adalah usia bagi seseorang untuk lulus program sarjana. Namun, berbeda dengan Aldino Javier Saviola, yang justru lulus program pascasarjana dan meraih gelar S2 pada usia yang masih 22 tahun. Bagaimana bisa?
Pada Kamis, 23 Januari 2025, Aldino, sapaannya, telah resmi lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia diwisuda bersama 841 lulusan program pascasarjana di Grha Sabha Pramana, UGM.
Saat menyandang gelar S2, usianya baru 22 tahun 6 bulan 18 hari. Padahal rerata usia 691 lulusan Program Magister di periode ini adalah 29 tahun 6 bulan 15 hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada momen kelulusannya, Aldino tak hanya menjadi yang termuda, tapi juga salah satu lulusan S2 tercepat.
Kuliah S1 Melalui Jalur SNMPTN/SNBP
Aldino menempuh jenjang sarjananya di jurusan kimia, FMIPA UGM. Ia masuk melalui jalur SNMPTN (kini SNBP) dan lulus pada Mei 2023.
“Tanpa keraguan sedikitpun sejak saya S1 dulu, melalui jalur SNMPTN saya telah memilih Departemen Kimia FMIPA UGM sebagai cinta pertama saya,” ungkapnya, seperti dikutip dari laman resmi UGM, Jumat (24/1/2025).
Salah satu alasan dia memilih prodi kimia, karena sudah terakreditasi internasional. Selain itu, ia menilai ada banyak pakar di bidangnya sehingga memiliki pendidikan yang berkualitas.
Dia berpendapat, FMIPA UGM memiliki berbagai fasilitas dan lingkungan yang baik untuk mendukung pembelajaran mahasiswa. Hal ini yang kemudian memantapkan dirinya lanjut studi doktor.
“Kualitas keilmuan yang diajarkan pada mahasiswa sangat baik, akhirnya saya memutuskan untuk tetap kuliah di UGM sampai pendidikan doktoral,” imbuhnya.
Rahasia Bisa Lulus S2 pada Usia 22 Tahun
Aldino menyelesaikan studi S1 pada usia yang masih relatif muda yakni 20 tahun. Momen ini, segera ia manfaatkan untuk lanjut studi S2 dengan mendaftar beasiswa program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) Batch 7 dari Kemendikbud.
Akhirnya, dia pun lolos beasiswa tersebut. Program beasiswa unggulan ini mengakomodasi sarjana agar lulus S2 dan S3 hanya dalam kurun waktu 4 tahun.
“Saya bersyukur sekali berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa ini,” ucap pria kelahiran Purwokerto, 27 Maret 2002 itu.
Program fast track menuntut Aldino untuk menyelesaikan pendidikan S2 dan S3 dalam waktu empat tahun. Alih-alih membuatnya kewalahan, dia justru terpacu untuk menyelesaikan studi secepat mungkin.
Dalam waktu bersamaan, bahkan Aldino berhasil menyelesaikan tesis sembari menjadi mahasiswa doktoral di fakultas yang sama. Ia pun lulus program magister hanya dalam waktu 1 tahun 2 bulan, ketika rata-rata kelulusan program ini sekitar 2 tahun 2 bulan.
Menurutnya, jika mahasiswa ingin lulus cepat dengan serangkaian prestasi, harus bisa membagi waktu sebaik mungkin.
“Kita harus ulet, tekun, dan telaten dalam melakukan penelitian merupakan kunci untuk bisa lulus dengan prestasi terbaik,” pesannya.
Prestasi 26 Karya Jurnal Terindeks Scopus
Meski lulus cepat dan pada usia yang masih muda, Aldino tetap memaksimalkan pembelajaran dengan prestasi. Minatnya di bidang kimia membuatnya mampu menghasilkan penelitian dan karya inovatif.
Saat ini, bahkan ia telah memiliki total 26 karya jurnal terindeks scopus.
“Saya kira ini merupakan achievement yang luar biasa bagi diri saya. Semoga ke depannya saya bisa lebih produktif lagi dan dapat menghasilkan karya-karya lainnya,” ujar Aldino.
Salah satu riset yang dikembangkannya yakni seputar pembangunan nanokatalis untuk produksi biofuel. Dalam tesisnya, ia meneliti soal masih tingginya penggunaan bahan bakar fosil untuk avtur.
“Saya mencoba mengembangkan bioavtur dari sumber biomassa berupa minyak jelantah yang tidak hanya mudah didapatkan di alam, tetapi juga merupakan bentuk inovasi waste-to-wealth demi menjaga kelestarian lingkungan,” jelasnya.
Riset yang dirancang Aldino berhasil mengubah minyak jelantah menjadi bioavtur dengan komposisi kimia yang sangat mirip dengan avtur berbasis fosil.
Melalui riset-risetnya, ia berharap bisa menjadi salah satu alternatif untuk mendukung transformasi energi ke proses yang lebih hijau. Hal ini mengingat pemerintah dan konsensus global saat ini sedang gencar mengupayakan solusi untuk mengatasi perubahan iklim.
“Penelitiannya tentu masih memerlukan evaluasi dan pengembangan lebih lanjut, namun ia berharap inovasi ini nantinya dapat diaplikasikan pada skala industri,” tuturnya.
(faz/nwk)