Jakarta –
Nama Raden Ajeng (RA) Kartini dikenang sebagai sosok emansipasi perempuan. Putri dari Raden Mas (RM) Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah itu dikenal akan pemikirannya yang tersimpan dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Buku berisi sekitar 100 surat Kartini kepada teman-temannya itu diterbitkan oleh J.H. Abendanon pada 1912, tokoh Belanda yang pro dengan pemikiran Kartini.
Buku dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis Tot Licht tersebut sudah tersebar luas dan masih menjadi bahan bacaan tentang emansipasi perempuan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih dari 1 abad setelah buku tersebut diterbitkan, muncul ide untuk mengumpulkan surat-surat Kartini dengan lebih komprehensif. Ide tersebut kemudian diwujudkan oleh Prof. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia periode 1993-1998.
“Saya bertekad untuk menulis buku itu, saya perlukan 2 tahun,” ujar Wardiman kepada wartawan di Gedung Pustaka Obor, Jl. Plaju No.10, Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Perjalanan Mengumpulkan Surat-surat Kartini
Dalam penulisannya, Wardiman perlu mencari surat-surat tersebut sampai ke Belanda. Di Kantor Arsip Nasional Belanda itu, ia menerima surat-surat Kartini yang tertinggal.
Setelah ditelusuri, surat-surat Kartini tak hanya berjumlah 150 saja seperti yang dirangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Tetapi mencapai 400 surat.
Wardiman menuturkan jika dalam sehari Kartini bisa menulis hingga 2 surat. Surat-surat tersebut juga bukan merupakan surat pendek. Bahkan ada 1 surat yang berisi 27 halaman.
“Dia kan menulis hanya 4-5 tahun. Jadi, dalam 4 tahun diperkirakan 400 [surat],” ujarnya.
Wardiman berhasil mengumpulkan 179 surat dari total 400 surat. Surat-surat tersebut ia kumpulkan dari arsip The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies/Leiden University Libraries KITLV/UBL dan lembaga arsip lainnya.
Kendala Surat Kartini
Wardiman mengaku banyak kendala yang ditemui saat penyusunan Trilogi Kartini. Terlebih pada proses pengumpulan surat.
Surat-surat yang ia dapat semuanya masih dalam bentuk tulisan tangan asli Kartini. Sebelum menerjemahkan, ia pun perlu mengubah tulisan tangan menjadi tulisan latin.
“Jadi, kendala sih banyak, tapi kendala teknis,” ujarnya.
Penyuntingan Menjadi 3 Jilid
Setelah mengumpulkan 179 surat, Wardiman bersama rekannya melakukan penerjemahan kasar dan halus dari bahasa Belanda ke Indonesia. Adapun proses penerjemahan ini membutuhkan waktu 1 tahun.
Usai diterjemahkan, kumpulan surat tersebut diputuskan agar dibagi menjadi 3 jilid dengan total 1.500 halaman.
“Diputuskan untuk 1 jilid untuk suratnya, itu kira-kira seribu halaman, 1 jilid untuk riwayat hidupnya dan pemikirannya, dan 1 jilid untuk kesetaraan gender,” jelas Wardiman.
Jilid I Kartini: Kumpulan Surat-surat 1899-1904 akan berisi 179 surat Kartini dan 11 artikel memoar terjemahan dari bahasa Belanda.
Jilid IIKartini: Hidupnya, Renungannya, dan Cita-citanya berisi biografi. Kemudian terakhir, berjudul Jilid IIIKartini: InspirasiKartini dan Kesetaraan Gender Indonesia.
Wardiman berharap dengan adanya Trilogi Kartini masyarakat bisa mengetahui fakta-fakta tentang Kartini. Hal ini dikarenakan buku rujukan tentang Kartini masih terbatas pada Habis Gelap Terbitlah Terang.
“Jadi banyak orang mengada-ada, banyak orang bikin legenda mengenai Kartini. Nah, kalau dengan ini, legenda-legenda yang ada itu bisa dikurangi. Ini adalah rujukan sehingga ada fakta-fakta sejarah,” pungkasnya.
(nir/pal)