Jakarta –
Di pengujung 2022, aktor Dian Sastrowardoyo membacakan buku Balon Warna-warni di kanal YouTube Koneksi Inklusif Indonesia (Konekin). Buku tersebut merupakan satu dari lima Buku Anak Disabilitas Indonesia atau Buku Bisa.
Balon Warna-warni bercerita tentang Asa, siswa SD dengan gangguan spektrum autisme, berteman dengan Keiko di sekolah inklusif. Dalam buku cerita ini, pembaca diajak mengenal hal-hal yang menarik, mengganggu, disukai, dan tidak disukai Asa sebagai siswa autis dan bagaimana Keiko mengapresiasi, belajar mengenal, serta memahaminya.
Founder & CEO Konekin, Marthella Rivera Ridatua, menuturkan buku cerita ini diproduksi agar menjadi bahan bacaan orang tua, guru, dan anak agar lebih mengenal disabilitas. Tiap buku bercerita tentang ragam disabilitas yang berbeda, mulai dari disabilitas daksa hingga difabel intelektual Down syndrome.
“Buku ini jadi awalan perkenalan temen-temen dengan dunia disabilitas, dan akan sangat bagus kalau ditindaklanjuti dengan interaksi langsung,” tuturnya di sela Festival Kurikulum Merdeka di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, ditulis Minggu (7/7/2024).
Sejumlah buku anak disabilitas Indonesia (Buku Bisa). Foto: Trisna Wulandari/detikEdu
|
Melawan Perundungan Anak Disabilitas
Thella bercerita, Buku Bisa berawal sebagai respons atas tingginya kasus perundungan (bullying) terhadap anak disabilitas pada 2021. Menyadari masih jarang buku cerita yang menceritakan soal anak disabilitas, Konekin kemudian bekerja sama dengan penulis dan ilustrator disabilitas untuk menghasilkan rangkaian buku anak tersebut, seperti penulis Gin Teguh dan ilustrator Yasmin yang seorang teman Tuli.
Memastikan buku-buku anak ini benar-benar merepresentasikan disabilitas jadi tantangan sendiri bagi tim Buku Bisa. Thella menuturkan, di samping melibatkan penulis dan ilustrator disabilitas, pihaknya juga bekerja sama dengan komunitas-komunitas terkait untuk mengecek representasi dalam aspek visual maupun cerita.
“Misalnya apakah sebenarnya perawakannya Down syndrome, sudah tepat atau belum. Harapannya, penulis dan ilustrator bisa ngasih tahu dengan tepat,” ucapnya.
“Piknik!”, Buku Bisa tentang anak Down syndrome tengah dibaca pengunjung Festival Kurikulum Merdeka di JCC Senayan, Jumat (5/7/2024). Foto: Trisna Wulandari/detikEdu
|
Membacakan Buku Cerita tentang Anak Disabilitas
Untuk membacakan buku anak disabilitas Indonesia seperti Dian Sastrowardoryo, Thella menuturkan ada sejumlah tips yang dapat diikuti. Pertama, jelaskan makna dari setiap gambar di buku. Bagi anak-anak, gambar di buku bisa jadi lebih menarik untuk diperhatikan ketimbang kalimat yang tertulis sudah pendek.
Kedua, baca nyaring dan sesuaikan intonasi dengan cerita. Volume suara tidak harus selalu keras, tetapi beri penekanan pada sejumlah kata atau kalimat yang perlu diperhatikan anak.
Ketiga, lakukan recall atau mengingat kembali isi cerita di kemudian hari. Thella mencontohkan, jika suatu hari bertemu dengan anak Down syndrome, ajak anak untuk mengingat kembali buku cerita yang berisi kisah anak Down syndrome tersebut. Jika memungkinkan dan nyaman untuk satu sama lain, ajak anak-anak berkenalan.
“Jadi, baik orang tua maupun guru ketika misalnya ketemu sama anak autis, recall-nya adalah ‘Kamu inget nggak kemarin Ibu bacain buku Balon Warna-warni‘? ‘Iya, tentang autis, ya?’ Nah, saat itu anak-anak bisa langsung berkenalan,” tuturnya.
Menyebarkan Buku Cerita Anak Disabilitas ke Nusantara
Thella menuturkan, produksi buku hibah ini didukung hibah dan sejumlah pihak sehingga dapat disebar ke sejumlah komunitas terpilih di Indonesia. Ke depannya, buku ini diharapkan tersebar dan dibaca lebih luas dari Sabang sampai Merauke, terutama di sekolah-sekolah umum lewat kerja sama dengan Kemendikbudristek dan program tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan.
Rencananya, buku anak disabilitas Indonesia juga akan dibuat dalam bentuk audiobook dan e-book. Format ini diharapkan membuka akses lebih luas bagi anak disabilitas netra dan lainnya dari berbagai kalangan.
“Lalu ada video berbahasa isyarat, jadi anak-anak Tuli atau orang tua Tuli yang pengen tahu isi bukunya bisa melihat video isyarat tersebut,” ucapnya.
Bagi masyarakat yang punya gagasan senada dan ingin memulai, Thella menyarankan untuk mencari tahu penerimaan hibah pendidikan, sosial, dan inklusif, serta perusahaan yang membuka CSR di bidang serupa.
“Biasanya kita nyiapin mockup-nya. Jadi misalnya mau bikin buku, ada mockup, proposal sampai budget-nya. Bisa kita ajuin via email ke perusahaan tersebut, ke CSR-nya. Lalu lebih banyak ikut forum, seperti ini (Festival Kurikulum Merdeka), sehingga semakin berjejaring dan bertukar informasi,” tuturnya.
(twu/nwk)