Jakarta –
Semangat terus belajar dan berbagi tampak jelas dalam diri seorang Waitatiri. Ia adalah seorang volunteer lulusan Harvard University, di Amerika Serikat.
Perjalanannya sebagai relawan mengantarkan Waitatiri bertekad untuk berkuliah di negeri Paman Sam tersebut. Tujuannya ingin menimba dan memperjuangkan pendidikan informal bagi anak-anak di Indonesia.
Keprihatinannya bermula saat Covid-19 melanda. Waitatiri melihat banyak anak yang terkendala belajar akibat tak punya ponsel sehingga mereka terancam putus sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Akhirnya saya mengajak lagi teman-teman untuk mengumpulkan donasi, kita belikan itu sampai sekitar 20 HP (handphone) dengan paket data yang akhirnya didistribusikan,” terang wanita yang akrab disapa Wai tersebut dilansir dari laman Media Keuangan LPDP, Minggu (9/3/2025).
Masuk Harvard dengan Beasiswa LPDP
Wai adalah lulusan Universitas Indonesia (UI). Saat ia hendak mendaftar S2, dirinya sempat khawatir karena sudah sekitar 6 tahun tak belajar karena sibuk bekerja terlebih dahulu.
Namun tekadnya untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia sudah bulat. Akhirnya ia mendaftar jurusan Learning Design, Information and Technology di Harvard School of Education.
Di sana Wai banyak belajar tentang education in learning, design innovation and technology. Di jurusan tersebut ia belajar cara membuat pembelajaran secara lebih kreatif.
“Semacam lebih kreatif melihat desain pembelajaran. Jadi kita bukan mendesain seperti membuat kurikulum, tapi kita mendesain bagaimana caranya pembelajaran itu dapat terjadi di media manapun, media buku, media TV, media permainan misalnya, atau kegiatan-kegiatan luar ruangan misalnya outbond,” terang Wai
Di awal Wai dituntut harus banyak menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurutnya Harvard dan UI punya sistem belajar yang sangat jauh berbeda.
Meski isak tangis menyertainya kala itu, Wai tetap berkomitmen untuk menuntaskan pendidikan. Semangat Wai menjadikan dosen-dosen di Harvard menilai bahwa orang Indonesia mempunyai value lebih.
“Saya juga baru sadar bahwa ternyata menjadi orang Indonesia punya value di sana karena mereka ingin tahu. Mungkin kalau kita melihat Indonesia ya kita sehari-hari tinggal di Indonesia, jadi seperti tidak ada yang istimewa gitu. Tapi kalau kita menceritakan tentang Indonesia, tentang cara belajar, tentang anak-anak di sini, mereka ternyata benar-benar memperhatikan,” kenang Wai.
Suarakan Bullying Lewat Buku
Wai mengaku punya pengalaman yang cukup buruk saat kecil. Ia pernah di-bully dan harus menemukan cara menyembuhkan diri sendirian.
Hal tersebut mendorongnya untuk membuat sebuah buku berjudul The Missing Colours yang menyuarakan penyintas bullying. Buku tersebut diangkat dari kisah nyata seorang korban bullying yang ia kenal.
“Saya dulu mengalami bullying di sekolah dan merasa dari dulu bahkan sampai sekarang ketika saya mencari referensi kok enggak ada ya sesuatu yang ngebahas tentang pengalaman seperti saya. Kenapa enggak ada buku yang bisa menemani saya ketika saya menjadi korban? Sampai akhirnya saya harus pulih sendiri,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti kasus bullying yang terjadi pada anak. Menurutnya, anak-anak lebih berat dalam menghadapinya karena trauma dapat dibawa hingga dewasa.
“Tapi kalau orang-orang di luar sana, anak-anak di luar sana banyak yang mungkin sampai dewasa masih membawa traumanya. Karena itu, saya ingin buku ini semacam menjadi cara untuk memberi tahu bahwa walaupun seseorang sudah pernah mendapat bullying, di masa depan mereka bisa kok balik lagi menjadi manusia yang bahagia dengan lingkungan yang baik,” lanjutnya.
Buku Karya Wai Dijadikan Bahan Ajar di Harvard
Buku karya Wai tersebut ternyata menyita perhatian seorang dosen di Harvard. Dosen tersebut meminta agar buku Wai dijadikan kurikulum sebagai bahan ajar di Harvard.
Wai pun mengurus buku tersebut pada tahun 2023 seraya ia menyelesaikan pendidikannya. Hingga pada April 2024, buku The Missing Colours resmi jadi salah satu kurikulum yang diterapkan di beberapa sekolah di Amerika Serikat.
Wai tak pernah menyangka keresahan dan hasil buah pikirnya bermanfaat di luar sana. Rencananya Wai akan membuat buku baru dengan tema masih seputar bullying.
“Kalau sekarang targetnya itu lebih ke remaja dan orang dewasa. Jadi pembahasan bullying-nya lebih komprehensif. Saya mengambil cerita dari penyintas yang pernah menjadi korban dan juga menjadi pelaku,” terang Wai.
Kini, Wai tengah mengembangkan platform belajar untuk anak umur 4-14 tahun. Ia membahas soal literasi numerasi pada Smartick Indonesia.
Harapannya ini bisa membantu anak-anak di sekolah karena memang ini kan sifatnya platform ya, website gitu, jadi anak-anak belajar di rumah. Selain secara personal mereka berkembang, mereka juga bisa berpikir kritis, lebih percaya diri dengan kemampuannya sendiri dan dapat perform lebih baik di sekolah,” ungkap Wai.
(cyu/nwy)