Jakarta –
Beberapa waktu lalu ratusan guru honorer di Jakarta diputus kerja. Kabar ini kemudian ramai dengan istilah guru honorer yang terkena cleansing.
Merespons cleansing yang terjadi, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Prof Dr Nunuk Suryani, MPd, mengatakan bahwa istilah cleansing yang menyangkut guru itu tidak ada. Menurutnya, kata-kata itu tidak manusiawi.
“Tiba-tiba ada berita cleansing. Cleansing itu kata-kata yang tidak pas ya, sangat tidak manusiawi,” katanya kepada wartawan pada Senin (29/7/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenapa Bisa Terjadi Cleansing di Jakarta?
Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Ditjen GTK menemukan fakta bahwa cleansing di Jakarta bisa terjadi karena kelebihan guru.
“Ternyata di situ memang ada kelebihan guru di satuan-satuan pendidikan. Misalnya, harusnya cuma (butuh) 6, ternyata ada 10. Sementara mereka tetap digaji dengan anggaran daerah,” ungkap Nunuk.
Ia menjelaskan bahwa alasan di Jakarta melakukan pemberhentian itu karena memang berlebih.
Padahal, ia melanjutkan, secara keseluruhan di provinsi DKI itu kekurangan guru. Namun, yang kurang itu di daerah-daerah lain, bukan di sekolah (yang kelebihan) tersebut.
“Maka solusi dari kita adalah redistribusi. Jadi sekarang mereka yang diberhentikan itu sudah dipanggil kembali (untuk mengajar),” ucapnya.
“Saran dari kita adalah meredistribusi. Kita punya data, DKI tu yang kosong di sekolah mana. Itu yang kita berikan ke DKI untuk ditata, seperti itu,” imbuh Nunuk.
Mengutip detikNews, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Budi Awaluddin, mengatakan bahwa guru honorer yang diputus kerja di Jakarta telah mengajar kembali per Selasa (23/7/2024).
Mereka kembali ke sekolah masing-masing dan nantinya akan disebar ke sekolah yang membutuhkan.
“Udah ngajar lagi. Nanti balik ke asal sekolah dulu, baru nanti kita sambil diskusi dengan sekolah SD yang membutuhkan,” ujarnya.
Guru Honorer Tidak Bisa Diputus Kerja, Tapi…
Terkait apa yang terjadi di Jakarta, Nunuk menilai bahwa itu terjadi karena dulu, sekolah membutuhkan guru, jadi merekrut orang tanpa seleksi.
“Salah nggak? Mereka butuh guru, karena moratorium guru. Salah juga tidak, benar juga tidak. Mereka yang penting ada orang dulu. Mereka memberikan guru agar muridnya ada yang ngajar. Ini yang sekarang kita tata,” ungkapnya.
Melalui Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Nunuk mengatakan bahwa sistem tersebut akan menata bukan hanya menyeleksi. Sebab, sejak awal guru-guru sudah ada di Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
“Karena memang esensi seleksi PPPK itu bukan menyeleksi tetapi menata. Mereka (para guru) kan sudah ada di dalam Dapodik, kan gak mungkin kita berhentikan. Tapi gak mungkin di sekolah (yang kelebihan guru) itu. Kenapa? Karena guru rekrutnya oleh sekolah, rekrutnya tanpa menggunakan pertimbangan Ditjen GTK. Misalnya Analisa Beban Kerja (ABK), kebutuhan mapelnya apa, kan gak tahu, sehingga mereka hanya ngangkat,” paparnya.
Jadi, apabila ada isu cleansing yang terjadi di daerah lain, Ditjen GTK mengaku akan berkomunikasi untuk mengetahui kenapa mengambil kebijakan itu. Namun yang pasti, guru honorer itu tidak bisa diberhentikan atau cleansing, tapi didistribusi ulang, ditata.
Kemudian untuk kebijakan yang harus diambil apabila ada guru yang belum jadi PPPK, Nunuk mengatakan solusinya bisa kontrak daerah dulu.
“Kalau belum sempet menjadi PPPK ya jadikan kontrak daerah dulu. Sekarang di Jakarta, KKI (kontrak kerja individu). Sambil menunggu formasi yang tersedia,” katanya.
“Jadi sebenarnya, kebutuhan (guru) itu ada. Tapi daerah tidak membuka formasi maksimal, kalau buka maksimal yaudah kita distribusi. Masalahnya sekarang kalau distribusi, guru juga nolak, maunya (ingin) dekat-dekat. Itu makanya saya tidak pernah mau tanda tangan untuk relokasi, balik lagi ke mana gitu, saya gakmau,” pungkasnya.
(faz/nwk)