Jakarta –
Puluhan tahun silam, Artificial Intelligence (AI) dianggap konsep yang hanya berguna dalam permainan (games), tidak bisa menyelesaikan permasalahan dunia nyata. Tapi kini, AI telah hadir di dalam kehidupan kita. Di berbagai bidang keilmuan. Dari sains-teknik hingga sosial-humaniora.
AI semakin luas diterapkan di segala bidang sehingga berpotensi mendisrupsi pekerjaan manusia. Pada 2022 lalu, pekerjaan yang dilakukan mesin masih berkisar 34% dan manusia 66%. Tapi di tahun 2027 nanti, pekerjaan yang dilakukan mesin menjadi 43% dan pekerjaan manusia hanya tersisa 57%. Demikian dilansir World Economic Forum (WEF). Selain itu, tidak lama lagi, AI akan memasuki generasi keempat: Fourth Generation of Artificial Intelligence (4G AI).
Para pakar memprediksi 4G AI yang semakin cerdas ini akan hadir tahun 2030. Ini bersamaan hadirnya jaringan nirkabel generasi keenam, the sixth generation of wireless network (6G Network), yang diperkirakan sepuluh ribu kali lebih cepat dibanding jaringan nirkabel saat ini. Kedua teknologi, yang sangat cerdas dan super cepat ini akan berdampak besar dalam transformasi digital. Jika keduanya hadir di tahun 2030, maka semakin banyak pekerjaan manusia yang digantikan. Oleh karena itu, banyak negara, terutama di benua Eropa, berusaha membuat regulasi yang tepat untuk mencegah dan memitigasi dampak buruknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 2020, mereka meluncurkan konsep Industri 5.0 yang memiliki visi mass customization dengan tiga tujuan: human-centric, (berpusat pada manusia atau kolaborasi manusia-mesin), resilient (tangguh), dan sustainable (berkelanjutan). Konsep ini mengubah pola pikir dari ‘otomasi pekerjaan’ menjadi ‘optimasi jam kerja’ untuk menyelesaikan pekerjaan. So, kita mesti mengubah pola pikir dari mass production (produksi massal) menjadi mass customization (kustomisassi massal).
AI juga adalah satu dari enam enam teknologi penting yang perlu disiapkan oleh semua generasi, mulai dari Gen-X hingga Alpha Gen. Yakni bio-inspired technologies and smart materials; energy efficiency and autonomy; human-machine interaction; digital twin and simulations; data sharing, storage, and analytic; serta AI.
Kalau kita bisa menyiapkan semua teknologi tersebut dengan benar, maka di tahun 2030 nanti kita akan bisa mencapai tujuan Industri 5.0 dalam empat dimensi: ekonomi, komunitas, kebijakan, dan ekologi. Sebaliknya, kalau kita tidak bisa menyiapkan semuanya dengan benar maka di tahun 2030 nanti, kita akan gagal dan berantakan. Sebab disrupsi akan terus membesar dan mencapai puncaknya dalam lima tahun ke depan.
Dalam bidang pendidikan, kita mesti memberikan pendidikan dengan kustomisasi massal; Besar-besaran tapi sesuai kebutuhan mahasiswa dan seluruh pemangku kepentingan. Untuk mewujudkannya, kita memerlukan teknologi yang tepat. Tidak bisa secara manual. Berikut disertakan pertanyaan terkait paling banyak ditanyakan kepada penulis beserta jawabannya. Selamat menikmati!
Apakah disrupsi AI adalah ancaman yang menakutkan? Atau justru peluang yang menyenangkan?
Hasil riset McKinsey & Company, yang dipublikasikan di bulan Juli 2024, menyatakan aplikasi AI bisa membuka peluang nilai ekonomi global sebesar US$ 11 – 18 triliun dollar Amerika-sekitar 171,6 – 280,8 kuadriliun rupiah. Dan bagi ekonomi nasional Indonesia, pemanfaatkan AI bisa menyumbang 366 miliar dollar Amerika-sekitar 5,8 kuadriliun rupiah-bagi PDB pada tahun 2030.
Baiklah. Sepakat. AI bukan ancaman, tapi peluang yang menyenangkan. Jadi, bagaimana cara menikmati disrupsi AI?
Pertanyaan yang bagus sekali. Banyak cara menikmati disrupsi AI. Mari kita diskusi. Serius tapi santai. Dengan bahasa yang mudah dipahami.
AI sangat baik dalam akurasi dan kapasitas. Tapi manusia lebih baik dalam kreativitas dan humanitas. Kolaborasi manusia dan AI pasti menjadi sebaik-baik perpaduan, yang bisa menyelesaikan masalah secara luas. Jadi, agar bisa menikmati disrupsi, kita mesti memiliki kreativitas, humanitas, dan kesadaran diri yang tinggi serta memahami, menguasai, dan mampu mengdaptasi AI semaksimal mungkin.
AI tidak bisa dihindari. Tidak bisa ditinggal lari. Kita bisa saja menjadi manusia amat kreatif, sangat humanis, dan berkesadaran diri. Tapi kalau tidak menguasai AI, kita akan dikalahkan oleh mereka yang menguasai AI. Seorang desainer kreatif bisa memenuhi permintaan pelanggan dalam tiga hari dengan otentisitas dan harga tinggi. Tapi desainer kreatif yang memakai AI-sebagai tools untuk teman brainstorming, menemukan gagasan orisinil, atau bikin sketsa awal untuk difinalisasi secara otentik-bisa memenuhi kebutuhan pelanggan dalam tiga jam saja dengan otentisitas tinggi dan harga murah sekali.
Menurut kalian, siapa yang akan menikmati disrupsi? Ya, kalian benar. Kalian pintar. Dan atas pertanyaan tadi, kalian pasti bisa memahami bahwa jawabannya adalah: agar bisa menikmati disrupsi, kita mesti kreatif, humanis, memiliki kesadaran diri, dan menguasai AI. Mengapa demikian? Bagaimana penjelasannya?
Karena orang-orang yang kreatif, humanis, memiliki kesadaran diri, dan mahir bekerja menggunakan AI akan mendisrupsi mereka yang tidak menggunakan AI-meski mereka kreatif, humanis, dan memiliki kesadaran diri. Hal ini berlaku juga untuk skala yang lebih besar, lebih luas.
Sekolah yang mengadaptasi AI akan mendisrupsi sekolah yang tidak mengadaptasi AI. Perguruan tinggi yang mengadopsi AI akan mendisrupsi perguruan tinggi yang tidak mengadopsi AI. Perusahaan yang menerapkan AI akan mendisrupsi perusahaan yang tidak menerapkan AI. Negara yang berbasis AI akan mendisrupsi negara yang tidak berbasis AI.
Apakah menjalani maraton kehidupan di era AI sangat menakutkan? Tidak. Kalau kalian menguasai AI, maraton kehidupan pasti menyenangkan. Kalian hanya perlu menyiapkan perbekalan dan ketahanan. Siap. Perbekalan dan ketahanan seperti apa?
Bekal utamanya adalah pengetahuan dan keterampilan sains-teknik terkini. Ketahanannya berupa pengetahuan dan keterampilan sosial-humaniora untuk gigih bertahan. Teman-teman, AI tidak bisa sepenuhnya diyakini. Sebagai manusia, kita perlu membaca, memahami, mengkurasi segala data dan informasi menjadi pengetahuan, wawasan, dan kebijaksanaan untuk memenuhi kepala. Kabarnya, kepala yang penuh pengetahuan akan mengosongkan dada dari perasaan paling benar, paling pintar, paling hebat. Kalau bisa melakukan keduanya dengan benar, kita akan merasakan betapa mudahnya mendapatkan inspirasi besar untuk mengkreasi karya-karya orisinal. Begitulah penjelasan singkatnya. Saya percaya, kalian pasti bisa memahaminya, bukan?
Namun, kalau teman-teman masih meragukan hal itu, sebaiknya kalian segera melakukan personalisasi atau generalisasi: bidang sains-teknik maupun sosial-humaniora. Apa itu? Personalisasi akan membuat kalian memiliki pengetahuan-keterampilan unik, yang tidak mungkin digantikan AI. Misalnya, kalian menjadi data analyst, system designer, software developer, atau seniman yang benar-benar ahli di area yang sangat personal-spesifik.
Sebaliknya, generalisasi akan membuat kalian mampu berpikir dan bertindak sistemik, yang juga tidak mungkin digantikan AI. Dengan mempelajari banyak bidang sains-teknik dan sosial-humaniora, kalian akan menguasai beragam pengetahuan, terlatih memandang masalah secara lebih holistik, serta memikirkan solusi dan melakukan aksi secara lebih terstruktur, sistematis, dan masif.
Bicara sains-teknik dan sosial-humaniora, saya perlu menegaskan: semuanya penting sangat dan saling memperkuat. Dua puluh tahun silam, ketika studi S2 di Swedia, saya pernah merasakan betapa pentingnya gabungan sains-teknik dan sosial-humaniora. Di sana, segala masalah diselesaikan dengan rekayasa sains-teknik dan rekayasa sosial-humaniora. Anak-anak diajari sosial-humaniora, sejarah dan budaya bangsanya, sejak balita hingga remaja. Sains-teknik baru diajarkan ketika mereka dewasa. Segala proses didukung sistem dan teknologi canggih. Semua orang bisa saling menghormati: bisa antre dengan tertib, tapi bisa memahami saat ada kondisi darurat-prioritas yang mesti mendahului. Pegawai di perkantoran umumnya berdiri. Tidak duduk dan ngobrol dengan rekan kerja sendiri. Segala keperluan penduduk negeri, segala masalah administrasi rumit, bisa selesai dalam hitungan menit.
Serius? Benaran? Serius! Benaran!
Baiklah, saya ingin berbagi pengalaman ketika menjalani studi S2 di Swedia pada tahun 2004. Suatu siang, saya pergi ke kantor asuransi kesehatan. Saat memasuki ruangan, saya disambut ramah oleh seorang wanita paruh baya yang berdiri di belakang meja. Begitu melihat formulir yang saya sodorkan, perlahan dia mengatakan: Maaf, kantor ini hanya menangani asuransi lansia. Tapi tidak masalah, saya akan mengurusnya ke kantor yang di sana. Urusan Anda sudah kelar. Silakan pulang. Sesaat saya terpana. Urusan yang menurut saya bakalan lama, ternyata kelar dalam satu menit saja.
Beberapa hari kemudian, saya baru paham. Sistem hebat itu dibangun dengan rekayasa sains-teknik yang canggih luar biasa. Dan manusia operatornya diajari dan dilatih dengan rekayasa sosial-humaniora-dengan waktu kerja enggak lebih dari delapan jam sehari-yang hebat juga. Sejak itu, saya semakin meyakini: sains-teknik dan sosial-humaniora itu saling melengkapi. Dan saya rasa, kalian juga pasti percaya: sains-teknik selesaikan sebagian masalah. Sosial-Humaniora bereskan yang lainnya. Gabungan keduanya tuntaskan segalanya. (Bersambung)
*)Prof. Suo adalah nickname Prof Dr Suyanto, ST, MSc, Rektor Telkom University periode 2025-2030.
(nwk/nwk)