Jakarta –
Aliansi Dosen Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) menggelar demonstrasi di sejumlah titik, termasuk di sekitar Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Senin (3/2/2025). Para Dosen ASN menuntut hak tunjangan kinerja (tukin) yang belum dibayarkan oleh pemerintah sejak 2020.
Menyadari kondisi ini, Guru Besar Ekonomi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr R Agus Sartono, MBA, mengatakan bahwa penundaan pembayaran hak tukin sebagai sebuah keteledoran yang tidak perlu.
“Terkait dengan tukin dosen yg tertunda sejak 2021 (2020/2021)-sekarang, sungguh ini boleh dibilang suatu keteledoran (pemerintah) yang tidak perlu,” katanya kepada detikEdu, saat dihubungi Senin (3/2/2025).
“Atau memang di periode yang lalu tidak ada kesungguhan untuk memperjuangkan nasib dosen. Di sisi lain tuntutan terhadap dosen begitu tinggi, sementara insentif tidak diperhatikan,” imbuhnya.
Untuk diketahui, bahwa sejak terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2020 tentang Ketentuan Teknis Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud 49/2020), dosen ASN belum pernah menerima tukin. Ini artinya, selama lima tahun, hak mereka belum dipenuhi oleh pemerintah.
Kekhawatiran terhadap Lulusan yang Ingin Menjadi Dosen
Agus menilai, pembayaran tukin sebagai hak dosen yang tertunda ini, bisa memunculkan kekhawatiran baru. Salah satunya pandangan mengenai profesi dosen.
“Saya justru khawatir ke depan akan kesulitan merekrut cream de la creamer – lulusan terbaik untuk menjadi dosen,” ucap Agus.
“Sementara insentif untuk profesi/berkarier di luar jauh lebih baik. Jika ini dibiarkan, maka dampaknya nanti pada luaran pendidikan tinggi,” tambahnya.
Dalam hal ini, Agus turut mempertanyakan gagasan besar Pemerintah RI dalam menyongsong masa depan. Terutama terkait gembar-gembor investasi sumber daya manusia.
“Jadi sebenarnya seriuskah investasi sumber daya manusia itu? Belum lagi impian menyongsong ‘Indonesia Emas’, apakah serius akan diwujudkan?” ujarnya.
Rombak-Pisah Kementerian Pendidikan Tinggi, Haruskah Disalahkan?
Agus turut menyoroti pemisahan kementerian di lingkup pendidikan pada periode pemerintahan yang baru. Ia berpendapat pemisahan kementerian mungkin dijadikan alasan.
Menurutnya, pada masa transisi (pemerintahan lama ke baru), mitigasi kebijakan strategis (tetap) dilakukan.
“Bukankah tidak lagi start from zero? Karena di periode 2014-2019 sudah ada Kemenristekdikti. Saya tentu menaruh harapan besar, agar jangan sampai kelambatan di awal tahun ini lalu mengakibatkan munculnya pemikiran di periode berikutnya digabung lagi,” papar Agus.
Lebih lanjut, ia menilai, jika pada periode 2019-2024 Dikti tetap jadi kementerian tersendiri seperti 2014-2019, maka kondisi bisa berbeda.
“Semoga kita tidak sedang bermain poco-poco atas investasi jangka panjang pada human capital. Kemajuan satu bangsa sangat ditentukan atas komitmen pemimpin terhadap peningkatan kualitas human capitalnya,” tuturnya.
Agus juga menyoroti hal lain, terutama terkait lembaga yang ingin membangun sekolah dan menangani pendidikan. Hal ini bisa membuat APBN pendidikan tersebar dan tidak fokus.
“Satu hal lagi yang justru menurut saya agak mengganggu adalah kecenderungan di sebagian kementerian dan lembaga di luar Kemdikbud, Kemenristekdikti dan Kemenag, yang berlomba-lomba membangun sekolah dan menangani pendidikan,” ungkapnya.
“Akibatnya dana 20% APBN untuk pendidikan makin tersebar dan tidak fokus. Belum lagi persoalan kebocoran di tingkat sekolah,” pungkasnya.
(faz/nah)