Jakarta –
Sudah hampir satu tahun Gaza diserang brutal oleh Israel sejak 7 Oktober 2023 lalu. Per Agustus 2024, serangan telah membunuh lebih dari 40.000 warga Palestina dengan setidaknya 16.000 di antaranya adalah anak-anak dan lebih dari 11.000 adalah wanita.
Kementerian Pendidikan Palestina melaporkan bahwa sekitar 630.000 ribu siswa di Palestina terpaksa putus sekolah. Ada 186 sekolah di Gaza yang hancur karena pengeboman brutal Israel.
Anak-anak terpaksa harus mengungsi dari satu ke tempat lainnya dengan kondisi memprihatinkan. Hal ini turut dikisahkan oleh seorang guru sains di Gaza, Ruwaida Amer.
Terlebih, pada musim panas seperti ini, adalah waktu bagi anak-anak di Gaza untuk memulai ajaran baru di sekolah.
“Awal tahun ajaran di Gaza merupakan awal yang istimewa, ditandai dengan kegembiraan yang nyata saat ribuan siswa bersiap untuk perjalanan akademis baru,” ucap Amer dalam Al Jazeera, yang dikutip Jumat (6/9/2024).
“Sebagai seorang guru, saya sangat merindukan awal tahun ajaran baru,” imbuhnya.
Masa-masa Indah Kala Menjadi Guru bagi Anak-anak di Gaza
Momen musim panas membuat ingatan Amer basah dengan masa-masa indah sebagai guru bagi anak-anak di Gaza. Ia masih merasakan semangat ketika awal ajaran baru dimulai.
Ia akan memiliki energi baru untuk membeli perlengkapan yang menunjang pembelajaran. Selain itu, ia juga akan melihat siswa-siswi dengan muka berseri-seri, yang ingin belajar dengan gembira.
“Saya sendiri akan merasa seperti seorang siswa, dengan rasa antisipasi untuk hari pertama kembali, bersemangat untuk bertemu dengan siswa baru saya di kelas lima. Di hari pertama sekolah, anak-anak selalu berseri-seri, seolah matahari menyinari wajah mereka, membuat semua orang tersenyum,” kisah Amer.
“Aku rindu sekolahku dan rutinitas sehari-harinya,” tambahnya.
Namun, semua ingatan itu tetiba bisa hancur karena kondisi yang ada, sangat berbeda. Amer tak menyangka bahwa Gaza dan Palestina harus kehilangan segalanya.
Terlebih, saat ia harus melihat anak-anak yang masih berjuang hidup, tinggal di pengungsian dengan kondisi yang tak nyaman.
“Semua hilang karena perang. Kami masih tidak percaya bahwa kami telah kehilangan segalanya dalam perang di Gaza ini. Ada rasa duka yang mendalam di kalangan orang tua dan siswa,” ujar Amer.
Anak-anak Merindukan Sekolah
Seorang siswa kelas tujuh di Gaza, Rima al-Kurd, mengatakan bahwa dia sangat merindukan guru matematikanya. Ia juga rindu dengan aktivitas sekolah, belajar, dan teman-temannya.
“Saya merindukan waktu istirahat (di sekolah) ketika saya duduk bersama teman-teman saya, dan kami tertawa,” kata al-Kurd kepada Al Jazeera.
“Perang ini sangat panjang dan mengerikan. Saya selalu berdoa agar perang berhenti sehingga saya bisa kembali ke rumah saya di Rafah,” imbuhnya.
Meski kini beberapa pengungsian membuka pembelajaran di tenda, al-Kurd mengaku tidak menyukai kondisi tersebut.
“Saya tidak suka bersekolah di tenda. Saya hanya suka sekolah, dan saya memahami pelajaran saya di sana. Saya ingin kembali ke sana dan berharap perang ini segera berakhir,” harap anak 11 tahun tersebut.
Sementara itu, kondisi ini juga memukul hati dan pikiran orang tua. Salah seorang ibu dari Gaza yang ada di pengungsian, al-Saadi (37) menceritakan bahwa dia sangat sedih sampai menangis jika mengingat waktu anak-anak harus bersekolah.
Dia memikirkan bahwa seharusnya salah satu anaknya tahun ajaran baru ini masuk kelas satu sekolah dasar. Namun, kini ia harus tinggal di tenda dengan putrinya yang menghabiskan sebagian besar waktu untuk bermain pasir, sementara ketiga putranya mencari air.
“Mereka telah kehilangan pendidikan, kehidupan, dan segala sesuatu yang mereka cintai. Ketika saya melihat tenda-tenda di dekat kamp dan mendengar suara anak-anak belajar di dalamnya, saya menangis. Apakah ini yang kita impikan untuk anak-anak kita? Untuk berakhir di tenda, duduk di pasir, belajar seperti ini?” tutur al-Saadi.
(faz/nwk)