Jakarta –
Sektor pendidikan tak luput dari efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah. Efisiensi ini dilakukan sesuai instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025 pada 24 Januari 2025.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) terdampak efisiensi mencapai Rp14,3 triliun dari pagu awal Rp56,6 triliun, sedangkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terkena efisiensi dari Rp33,5 triliun menjadi Rp26,2 triliun.
Pemotongan anggaran di sektor pendidikan ini menuai sorotan dari berbagai pihak. Pasalnya, pendidikan yang dinilai sebagai pilar penting generasi masa depan, justru berpotensi terganggu jika anggaran tidak diutamakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guru Besar Ekonomi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof Dr R Agus Sartono, MBA, mengatakan, pemerintah RI seharusnya sadar bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) masih relatif rendah, dilihat dari capaian pendidikan.
Kondisi tersebut akan menjadi masalah fundamental bagi pembangunan dan sangat berpengaruh terhadap produktivitas serta pertumbuhan ekonomi.
“Dengan kata lain peningkatan kualitas SDM- long term human capital investment -merupakan kunci dalam menopang agenda pembangunan nasional untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045. Jika kita abai terhadap long term human capital investment, maka kita akan ‘membayar mahal’ kelak, karena daya saing bangsa pasti akan merosot,” ucapnya saat dihubungi detikEdu, Jumat (14/2/2025).
Anggaran Pendidikan Tiap Tahun Naik, Tapi…
Agus menjelaskan, UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Pemerintah RI harus mengalokasikan 20% dari APBN/APBD untuk pendidikan.
Jika memperhatikan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, pemerintah mengalokasikan anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp724,262 triliun, 20% dari total belanja APBN 2025 yang mencapai Rp3.621,31 triliun.
“Memang jika dicermati anggaran pendidikan naik dari Rp550,0 T (2021) naik menjadi Rp574,9 T (2022), sejalan dengan meningkatnya APBN, anggaran pendidikan naik menjadi Rp608,3 T (2023) kemudian kembali meningkat menjadi Rp665,0 T (2024) dan pada tahun 2025 menjadi Rp724,3T. Memang jika dicermati selama lima tahun terakhir, anggaran pendidikan naik sekitar Rp174,3 T (31,7%),” ungkapnya.
Meski naik, lanjut Agus, tapi terdapat pertanyaan yang kemudian muncul di pendidikan Indonesia. Terutama soal kenaikan anggaran tiap tahun yang belum sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Terlebih, saat ini pemerintah tengah dihadapkan pada pilihan dan prioritas program untuk pembangunan. Ini berakibat efisiensi anggaran di hampir semua kementerian/lembaga, termasuk sektor pendidikan.
“Selama amanat UUD 1945 masih terjaga, maka penghematan anggaran pendidikan secara legal masih justifiable,” ujarnya.
Tukin Dosen, Kenaikan UKT, hingga Nasib Generasi Mendatang
Sebelum isu efisiensi muncul, dunia pendidikan belum sepenuhnya baik-baik saja. Sebagai contoh, pembayaran tunjangan kinerja (tukin) dosen yang belum dipenuhi sejak 2020.
“Pemerintah tentu akan dinilai tidak wise jika tetap abai tidak memenuhi kewajiban pembayaran tunjangan kinerja ini,” kata Agus.
Belum lagi, dengan munculnya kementerian baru, alokasi untuk perguruan tinggi menurun. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi harus berhemat, dari semula Rp57,6 triliun turun menjadi Rp43,3 triliun.
Di sisi lain, pemotongan anggaran yang menerpa Kemendikti juga bisa memunculkan konsepsi. Salah satunya, perguruan tinggi harus “mencari dari sumber lain”.
“Dan satu-satunya yang paling memungkinkan adalah menaikkan uang kuliah yang harus dibayar mahasiswa. Pilihan ini tentu dilematis di saat daya beli masyarakat tidak mengalami kenaikan. Ada potensi muncul gejolak di kampus-kampus,” papar Ketua DPD Ikatan Alumni Lemhannas Provinsi DIY tersebut.
Persoalan-persoalan itu, masih dibarengi dengan infrastruktur pendidikan tinggi yang belum maksimal, hingga PPN 12% yang bisa jadi berdampak ke pendidikan tinggi.
Menurut Agus, akan sebagus apa pun ide dan visi ke depan, tetap memerlukan komitmen pendanaan yang kuat. Pembiayaan pendidikan harus dipandang sebagai investasi jangka panjang dan sama strategisnya dengan pembangunan infrastruktur dasar.
“Tampaknya tidak banyak pilihan untuk keluar dari middle income trap. Long term human capital investment menjadi keniscayaan. Memangkas anggaran pendidikan sama halnya mengorbankan daya saing bangsa di masa depan. Itukah pilihan kita?” pungkasnya.
(faz/pal)