Jakarta –
Kasus yang mencuat baru-baru ini terkait seorang guru yang diduga melakukan tindakan asusila dengan siswi kelas XII di sebuah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Gorontalo mengguncang banyak pihak. Video memperlihatkan perbuatan tersebut beredar luas di media sosial pada September 2024, memicu gelombang kecaman serta keprihatinan. Pihak berwajib telah menetapkan guru tersebut sebagai tersangka, sementara korban dipindahkan ke sekolah lain untuk melindungi kesejahteraan mental dan emosionalnya.
Beberapa berita menggunakan istilah “hubungan asmara” untuk menggambarkan keterlibatan antara guru dan siswi tersebut. Ungkapan ini berbahaya karena menyiratkan bahwa apa yang terjadi adalah kesepakatan suka sama suka antara dua pihak yang setara. Padahal, fakta utamanya adalah adanya relasi kuasa yang sangat timpang antara seorang guru dan siswinya, terutama ketika siswa tersebut masih di bawah umur. Hubungan yang digambarkan sebagai asmara ini justru merupakan bentuk child grooming, di mana seorang dewasa yang memiliki otoritas memanfaatkan kekuasaannya untuk mengeksploitasi anak.
Beberapa netizen pun memperkuat narasi ini dengan berpendapat bahwa korban, sebagai Ketua OSIS, seharusnya mampu menolak dan berpikir lebih cerdas. Bahkan, beberapa menilai bahwa dalam video yang tersebar, korban terlihat aktif dan menikmati situasi tersebut. Komentar-komentar semacam ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman tentang dinamika child grooming dan ketimpangan kuasa yang terjadi.
Child grooming adalah proses manipulasi bertahap, di mana pelaku menggunakan kedudukannya untuk membangun kepercayaan dan kontrol emosional atas korban dengan tujuan mengeksploitasi mereka. Dalam kasus di Gorontalo ini, guru tersebut memanfaatkan kondisi korban yang tidak memiliki orang tua, memberikan perhatian lebih dan menciptakan ikatan emosional yang menyerupai hubungan ayah-anak. Ini merupakan taktik manipulatif yang sering digunakan dalam child grooming untuk mengisolasi korban dan membuat mereka bergantung secara emosional pada pelaku.
Menggambarkan keterlibatan ini sebagai “hubungan asmara” mengabaikan aspek paling mendasar dari dinamika relasi antara seorang guru dan siswanya-yaitu adanya ketimpangan kekuasaan. Guru memiliki posisi otoritas yang besar, di mana ia tidak hanya bertanggung jawab atas perkembangan akademis siswa, tetapi juga sering dianggap sebagai figur panutan. Dalam situasi ini, sulit bagi siswa, terutama yang masih berusia muda, untuk menolak atau melawan karena adanya ketergantungan emosional yang telah dibangun.
Menyalahkan korban atas apa yang terjadi adalah bentuk viktimisasi kedua yang memperburuk trauma yang dialaminya. Fokus masyarakat dan media seharusnya diarahkan pada perilaku predatoris pelaku, bukan pada tindakan korban yang berada dalam posisi rentan. Mengabaikan relasi kuasa dan manipulasi yang terjadi hanya akan memperkuat budaya yang menyalahkan korban dan memberikan ruang bagi pelaku untuk terus bersembunyi di balik posisi otoritas mereka.
Selain itu, kasus ini bukanlah yang pertama terjadi. Pada tahun 2023, seorang guru di Semarang memanipulasi siswinya dengan janji palsu, hubungan yang terungkap setelah video serupa tersebar di media sosial. Di Jember, pada 2021, seorang guru ditangkap karena melakukan pelecehan terhadap beberapa siswinya. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa ketika sistem pengawasan di sekolah lemah, relasi kuasa antara guru dan siswa dapat disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan anak-anak.
Dalam konteks child grooming, manipulasi sering kali tidak disadari oleh korban maupun orang di sekitarnya karena prosesnya yang bertahap dan halus. Pelaku membangun kepercayaan, memanipulasi emosi korban, dan sering kali berusaha mengisolasi mereka dari dukungan lain. Pada titik ini, korban mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi, apalagi jika manipulasi itu dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dan pembimbing mereka di sekolah.
Dampak dari kasus ini sangat besar bagi korban. Setelah video yang tersebar luas tersebut, korban dilaporkan mengalami ketakutan, rasa malu, dan tekanan sosial yang hebat. Pemindahan korban ke sekolah lain adalah langkah awal yang penting, namun dukungan psikologis yang mendalam dan berkelanjutan diperlukan untuk memastikan korban dapat memulihkan dirinya secara penuh dan melanjutkan hidupnya dengan percaya diri.
Trauma psikologis yang dialami oleh korban kasus child grooming kerap kali lebih kompleks dan membutuhkan waktu lama untuk pulih. Anak-anak yang mengalami hal ini tidak hanya harus menghadapi tekanan emosional dari pelecehan yang mereka alami, tetapi juga stigma sosial yang menyalahkan mereka. Situasi ini menciptakan lapisan trauma yang lebih dalam, di mana anak tidak hanya menjadi korban tindakan pelecehan, tetapi juga menjadi korban dari lingkungan sosial yang tidak mendukung.
Dalam konteks kasus di Gorontalo, penting bagi kita untuk menempatkan perspektif yang tepat mengenai peran korban. Siswi ini, meskipun menjabat sebagai Ketua OSIS, masih seorang anak yang sedang berkembang secara mental dan emosional. Usia remaja adalah masa kritis di mana individu sangat rentan terhadap pengaruh luar, terutama dari figur otoritas yang mereka hormati. Mengharapkan korban mampu menolak atau mengambil tindakan tegas dalam situasi tersebut adalah bentuk penilaian yang keliru dan tidak mempertimbangkan kerentanan usia dan posisi.
Kasus ini juga memicu refleksi yang lebih luas tentang peran guru dalam masyarakat. Guru, sebagai figur yang dihormati dan dipercaya oleh masyarakat, memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga batasan profesional dengan siswa. Ketika batasan ini dilanggar, tidak hanya korban yang menderita, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Oleh karena itu, perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap interaksi antara guru dan siswa, serta mekanisme pelaporan yang lebih mudah diakses dan digunakan oleh siswa yang merasa tidak nyaman.
Mencegah child grooming memerlukan langkah-langkah preventif yang sistematis. Pertama, sekolah harus memperkuat kebijakan internal yang mengatur interaksi antara guru dan siswa, termasuk memperkenalkan kode etik yang melarang kontak personal di luar konteks akademik. Setiap guru perlu mengikuti pelatihan etika profesional secara berkala, yang menekankan batas-batas yang jelas antara peran pendidik dan relasi pribadi dengan siswa. Selain itu, perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap aktivitas guru di dalam dan di luar kelas, terutama terkait dengan akses komunikasi pribadi seperti media sosial dan aplikasi pesan.
Kedua, mekanisme pelaporan yang mudah dan aman bagi siswa harus segera diimplementasikan. Sekolah perlu membentuk tim khusus atau unit perlindungan anak yang independen, di mana siswa dapat melaporkan perilaku mencurigakan tanpa rasa takut akan konsekuensi. Unit ini juga harus memiliki akses ke konselor dan psikolog untuk mendukung korban secara emosional dan mental sejak awal.
Ketiga, pemerintah harus mempertegas sanksi terhadap pelaku child grooming di lingkungan pendidikan. Tidak hanya hukuman pidana, tetapi juga pencabutan lisensi mengajar secara permanen. Sosialisasi mengenai bahaya child grooming dan cara mengenalinya juga harus menjadi bagian dari kurikulum nasional di sekolah, agar siswa dan orang tua lebih waspada terhadap tanda-tanda manipulasi yang mungkin terjadi.
Terakhir, orang tua juga harus lebih proaktif dalam memantau interaksi anak dengan guru. Pendidikan mengenai hak-hak anak, termasuk hak untuk mengatakan “tidak” dalam situasi yang membuat mereka tidak nyaman, harus diajarkan di rumah sejak dini. Dengan kerja sama dari semua pihak-sekolah, pemerintah, dan keluarga-kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi siswa, sehingga kasus serupa tidak lagi terulang di masa depan.
*) Guru Besar Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesejahteraan Sosial, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(nwk/nwk)