Jakarta –
Laporan Data Kasus Kekerasan di Lembaga Pendidikan 2024 oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan 573 kasus terjadi tahun ini. Mayoritas pelakunya adalah guru atau pendidik (43,9 persen).
Pelaku kedua terbanyak kekerasan di lembaga pendidikan 2024 berdasarkan data JPPI yaitu kelompok lainnya. Kelompok ini termasuk petugas keamanan sekolah, orang tua, senior, geng sekolah, masyarakat, dan lain-lain.
Angka tersebut disusul peserta didik atau siswa (13,6 persen) dan tenaga kependidikan (2,5 persen).
Data tersebut dihimpun JPPI dari berita di media massa serta pengaduan via kanal Instagram @sahabatjppi dan website new-indonesia.org.
Guru Juga Korban Kekerasan
Sementara itu, guru juga menjadi korban kekerasan di lembaga pendidikan sepanjang 2024 (10 persen). Sedangkan peserta didik tetap jadi korban kekerasan terbanyak (81,9 persen) di lembaga pendidikan. Korban lainnya yakni tenaga kependidikan (3 persen) dan kelompok lain-lain (4,7 persen).
Data JPPI 2024 menunjukkan kasus kekerasan yang menimpa guru mulai dari diketapel siswa, dipukuli orang tua, dan kriminalisasi guru.
Gusar Kekerasan Seksual di Sekolah Dianggap Normal
Dias, salah satu guru SMA negeri di Jakarta, menuturkan pengalamannya mendengar siswa yang mengaku mengalami kekerasan seksual oleh guru di sekolah. Saat itu, ia baru mengajarkan materi sosial Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Pembahasan tersebut menyoal isu rape culture, yaitu istilah yang merujuk kondisi di mana pemerkosaan dan kekerasan seksual dinormalisasi. Usai pembelajaran, sejumlah anak mengatakan bahwa dirinya mengalami pelecehan yang baru saja ia pelajari dari materi tersebut. Pelakunya adalah guru.
Guru pelaku kemudian berdalih tindakannya adalah candaan. Hal ini tak sekali ia temukan. Siswi lainnya, mengaku enggan mengikuti kelas olahraga lagi karena komentar cabul guru olahraga mengenai tubuhnya saat belajar.
“Anak menjadi trauma, nggak bisa mengembangkan potensinya di olahraga,” kata Dias di peluncuran data kekerasan di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).
Dari kejadian-kejadian tersebut, Dias juga menyorot bagaimana guru tidak punya pengetahuan atau kapasitas untuk menjadi bagian dalam penanganan kasus kekerasan di satuan pendidikan.
Ia menilai pelatihan peningkatan kapasitas pendidik tidak bisa lagi hanya difokuskan pada peningkatan literasi dan numerasi. Pelatihan pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan (PPKSP) tidak cukup hanya dilakukan hanya satu kali.
“Anak dan pelaku sama-sama tidak tahu soal pelecehan. Tidak punya kapasitas,” ucapnya.
Akar Kekerasan di Sekolah
Sementara itu Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Irsyad Zamjani mengatakan akar kekerasan di sekolah yakni pendisiplinan, hukuman fisik, dan ketimpangan relasi kuasa.
Ia menjelaskan, kebutuhan pendisiplinan peserta didik berawal dari saat anak-anak masuk ke lingkungan baru untuk beradaptasi dengan struktur sekolah. Struktur ini dapat berbeda dengan struktur keluarga dan masyarakat.
“Pendisiplinan yang dianggap paling efektif adalah hukuman fisik oleh guru-guru, terutama di masa lalu, saat knowlegde pendisiplinan efektif dan instan (terbatas, tahunya adalah lewat hukuman fisik. Ini meligitimasi adanya kekerasan,” kata Irsyad pada kesempatan yang sama.
“Pertama kalinya anak-anak tahu menempeleng itu boleh dilakukan, bisa dilakukan oleh siapapun, terutama oleh guru; penyiksaan boleh; ini menjadi justifikasi praktik kekerasan untuk tujuan berbeda-beda,” imbuhnya.
Berdasarkan hasil analisis Asesmen Nasional (AN) 2022, ketimpangan relasi kuasa juga rentan menjadikan anak-anak kelompok sosial ekonomi terbawah (anak miskin) paling rentan pada perundungan dan hukuman fisik.
Sementara itu, kekerasan juga rentan dilakukan laki-laki terhadap perempuan.
“Anak-anak jadi melihat itu normal, terutama saat ada ketimpangan relasi kuasa. Apalagi laki-laki terhadap perempuan, yang secara fisik lebih powerful,” ucapnya.
Ia menekankan cara-cara positif pendisiplinan saat ini perlu dilakukan. Alih-alih menghukum anak, berikan motivasi dan penjelasan konsekuensi perbuatannya untuk masa depannya.
Di sisi lain, ia mengamini penguatan kapasitas guru untuk pendisiplinan positif serta kampanye Permendikbud PPKSP penting digalakkan sebagaimana yang dibuat Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikdasmen. Termasuk di dalamnya lewat kampanye OSIS, siniar (podcast) sekolah, dan program sekolah.
Ia mengatakan upaya ini diharapkan tidak sekadar agar sekolah aman dan damai, tetapi juga memastikan masa depan anak jauh dari trauma kekerasan.
“Anak-anak yang masa dewasanya cenderung violent bisa jadi korban kekerasan di masa kecil. Karena itu penting menanganinya. Hasilnya (data kekerasan) ini juga akan kami diskusikan di Kemendikdasmen agar bisa ditindaklanjuti dan akselerasi program MMBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) dan penanganan kekerasan di sekolah,” ucapnya.
(twu/nwk)