Jakarta –
Selang beberapa bulan usai munculnya tagar viral #JanganJadiDosen, masalah gaji dosen kecil dan beban kerja berat diutarakan sejumlah ikatan alumni perguruan tinggi pada Komisi X DPR RI, Rabu (3/7/2024). Di samping gaji, masalah kesejahteraan dan pengembangan kompetensi dosen juga disorot.
Masalah Kesejahteraan Dosen
Wakil Ketua Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) Almaida Askandar menjabarkan hasil survei terbatas pada dosen UI menunjukkan dosen mengharapkan gaji, tunjangan, dan kesejahteraan saat pensiun. Para dosen juga berharap mendapat tunjangan kesehatan, pembiayaan riset, penghargaan atas pengabdian sebagai dosen, dan promosi jabatan.
Selain kesejahteraan, dosen menilai fasilitas gedung dan kelas adalah hal yang paling perlu ditingkatkan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi RI (46 persen), disusul peningkatan riset dan teknologi (43,8 persen).
Sedangkan aspek terpenting selanjutnya yakni training atau pelatihan bagi dosen (32,5 persen), inovasi kurikulum (30 persen), dan fasilitas pada ruang pengajar (28,7 persen). Almaida mengatakan, hasil survei tersebut juga menunjukkan harapan dosen atas fasilitas inklusif agar penyandang disabilitas bisa menikmati pendidikan tinggi di kampus.
Ia menggarisbawahi, dosen dapat mengisi 2 pilihan dalam survei tersebut sehingga total hasil jawaban per pertanyaan dapat lebih dari 100 persen.
Fokus Dosen Jangan Dipecah
Selaras dengan hasil survei pada dosen UI, Ketua Umum Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) Gembong Primadjaja mengatakan studi banding dan magang dosen juga perlu lebih banyak dilakukan di samping meningkatkan gaji. Upaya peningkatan kompetensi pendidik ini menurutnya penting untuk mendorong kualitas pendidikan tinggi.
“Jadi yang dikirim untuk studi banding jangan hanya yang magang itu, jangan hanya mahasiswa, tapi juga dosen itu perlu belajar. Kenapa MIT (Massachusetts Institute of Technology) bisa maju, universitas di Jepang, di China, bisa maju, dan lain sebagainya? Mereka terbuka untuk bisa melakukan perubahan program pengembangan profesional dan fasilitas kerja yang memadai,” ucapnya.
Untuk itu, Gembong juga menekankan agar dosen tidak lagi dibebani hal administratif seperti mengurus status naik pangkat sendiri agar fokus mengajar. Kemudian, perlu juga adanya pembagian peran antara profesor riset (research professor) dan profesor pengajar (teaching professor) seperti di luar negeri.
Langkah-langkah tersebut menurutnya bantu para dosen atau profesor fokus pada beban kerjanya dan efektif memajukan tiap aspek tri darma perguruan tinggi.
“Dia tidak berkewajiban seperti di Indonesia: semua guru besar, semua dosen, harus tri dharma perguruan tinggi, mengajar kemudian pengabdian masyarakat dan penelitian. Ini kan juga harus dipisahkan. Kalau kita mau maju, harus ada orang yang fokus di situ, jangan semua orang dibikin tidak fokus,” ucapnya.
Ia juga menyoal ruang kerja dosen di kampus yang relatif sempit dan tidak memenuhi prinsip kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Sementara itu di luar kampus, dosen tidak lagi mendapat penghargaan berupa fasilitas rumah atau kendaraan dinas.
“Perlu jadi perhatian, kesejahteraan sosial dan kesehatan, beban kerja yang seimbang, dan mobilitas, dan kesempatan kerja. Jadi saya melihat dosen juga salah satu yang harus di-upgrade, tetapi juga harus difasilitasi,” sambung Gembong.
(twu/nwk)