Jakarta –
Otak-atik efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih berlangsung, tak terkecuali di kementerian yang menangani pendidikan. Menjaga anggaran pendidikan 20% dari APBN sesuai amanat UUD 1945 juga adalah pekerjaan besar.
Hal itu juga sedang diupayakan anggota DPR Komisi X, termasuk dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selain mengupayakan menjaga anggaran pendidikan 20% APBN, juga lebih selektif untuk sekolah kedinasan, yang sebaiknya dikembalikan anggarannya ke kementerian/lembaga yang menaungi, bukan memakai anggaran fungsi pendidikan.
Menurut data yang dilansir dari CNBC Indonesia per Desember 2024, anggaran pendidikan 20% APBN ini naik dari senilai Rp665,02 triliun pada 2024, menjadi Rp724,26 triliun pada 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk anggaran pendidikan pada K/L tersebar di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sebesar Rp33,54 triliun, dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Rp57,68 triliun. Sementara itu di Kementerian Kebudayaan Rp2,37 triliun.
Ini artinya, untuk kementerian yang menangani pendidikan pecahan Kemendikbudristek mendapatkan anggaran total Rp93 triliun, tak sampai Rp100 triliun. Anggaran itu kini sudah mengalami efisiensi secara agregat jadi Rp88 triliun.
“Jadi, meskipun namanya Kementerian Pendidikan, tapi tidak semua sepenuhnya (mengelola) anggaran pendidikan. Rp93 triliun itu terus turunnya jadi Rp88 triliun (Rincian APBN Tahun Anggaran 2025 per Desember 2024 untuk 3 pecahan Kemendikbudristek),” jelas anggota Komisi X dari FPKS, Ledia Hanifa Amaliah saat berdiskusi dengan para jurnalis di Senayan City, Rabu (26/2/2025) malam.
Di Kementerian Agama yang membawahi sekolah agama seperti madrasah mendapatkan Rp65,92 triliun per Desember 2024. Lantas ke mana sisanya?
“Rp375 triliunnya itu transfer ke daerah (TKD). Sisanya ada di pusat. Di pusat itu ada yang masuk di Bendahara Umum Negara untuk bantuan-bantuan seperti PIP (Program Indonesia Pintar) terus kemudian bantuan kalau ada rusak sekolah rusak akibat bencana, bukan sekolah rusak yang sekolah rusak biasanya. Sisanya itu tersebar di 19 Kementerian dan Lembaga,” imbuh Ledia.
Hal itu, imbuh Ledia, membuat Komisi X DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan pada 2024 lalu.
Sekolah Kedinasan Diusulkan Dikeluarkan dari Anggaran Pendidikan
Salah satu yang menjadi sorotan adalah sekolah kedinasan yang dibawahi oleh kementerian/lembaga selain kementerian yang menangani pendidikan.
“Termasuk PTN-PTN itu operasional Rp14 juta per mahasiswa per tahun. Tapi ternyata di kementerian lain, ada juga menyelenggarakan pendidikan tinggi, ada yang kedinasan dan tidak. Kalau yang kedinasan, dia tidak boleh menggunakan (anggaran) fungsi pendidikan. Kalau kedinasan, dia harus pakai anggarannya mereka,” jelas Ledia.
“Dulu STAN masih pakai (anggaran) fungsi pendidikan, sekarang udah nggak. IPDN dulu masih fungsi pendidikan, sekarang udah nggak. Jadi yang kedinasan itu tapi kayak Badan Sandi Negara, Poltek Sandi Negara masih pakai anggaran fungsi pendidikan,” imbuhnya.
Berhubung sekolah-sekolah kedinasan ini menerima mahasiswa yang terbatas, berasrama dan bebas biaya pendidikan, jatuhnya biaya pendidikan per orang per tahunnya lebih mahal dibanding sekolah dan kampus di bawah Kemendikdasmen dan Kemendiktisaintek.
Bila di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) biaya operasional mahasiswa yang ditanggung pemerintah itu Rp14 juta per mahasiswa per tahun, di sekolah kedinasan biayanya lebih dari Rp14 juta per mahasiswa per tahun. Perlu diingat, PTN di Indonesia ada 184 dan 24 di antaranya berstatus PTN Berbadan Hukum (BH).
“Dan satuannya (biaya pendidikan sekolah kedinasan) itu lebih dari Rp14 juta. Lebih gede daripada yang domainnya pendidikan. Nah itu yang kemudian menjadi komplain. Nah sekarang ini sudah mulai ada gini, kalau ada perguruan tinggi di bawah Kementerian/Lembaga yang bukan ikatan pendidikan kedinasan dan mata kuliahnya itu program studinya itu sebenarnya ada di perguruan tinggi yang lain yang ada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu. Itu semua harus pindah,” papar Ledia.
Ledia mencontohkan, Politeknik Kesejahteraan Sosial di bawah Kementerian Sosial (Kemensos). Program Studi Kesejahteraan Sosial ada di beberapa PTN seperti UGM, Unpad, UI, jadi sebaiknya Kemensos tak perlu membuat sekolah kedinasan sendiri, lebih baik digabungkan ke PTN-PTN itu.
“Ya udah, nggak usah bikin sendiri. Toh, nggak jadi pegawai Kementerian Sosial juga. Nah, itu yang di-lobby yang kemarin Pak Satryo (Mendiktisaintek lama) sempat juga nggak enaklah hubungannya dengan beberapa Kementerian karena mereka punya itu (sekolah kedinasan). Atau Akademi Industri yang punya Kementerian Perindustrian. Terus, ada di PU juga kan ada ya. Sebenarnya hal-hal yang teknisnya sudah ada di perguruan tinggi umum, nggak usah (dibuat sekolah kedinasan). Karena dia akan jadi beban, terus kemudian dia tidak adil karena satuan pendidikannya jadi lebih besar. Nah, itu juga jadi bagian-bagian yang kemarin itu sudah dimintakan untuk dipindahkan. Supaya clear tuh. Sebenarnya 20% (Anggaran Pendidikan)-nya jelas kemana. Makanya sekarang ada Panja Pembiayaan Pendidikan,” urai Ledia.
Anggaran Pendidikan untuk Sekolah Kedinasan Melanggar UU Sisdiknas
![]() |
Sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan “dana pendidikan, selain untuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, wajib dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Lalu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2008 menghapus kata ‘gaji pendidik’ dalam Pasal 49 ayat 1 itu sehingga gaji pendidik masuk komponen anggaran pendidikan.
“Jadi kalau kita lihat peraturannya kan jelas ya. Jadi problemnya begini, anggaran pendidikan sekarang itu dibagi ke Kementerian/Lembaga dan mencakup anggaran bagi pendidikan kedinasan. Padahal aturannya itu mengecualikan sekolah kedinasan, jelas ini berlawanan dengan Pasal 49 ayat 1 UU Nomor 2 tahun 2003. Ini salah satu, menurut saya, dosa besar anggaran pendidikan kita ya,” jelas anggota Komisi X DPR FPKS Gamal Albinsaid.
Gamal yang juga masuk ke Panja Pembiayaan Pendidikan mengutarakan satu masalah lagi yang harusnya dituangkan dalam peraturan. Yakni, menteri yang menangani pendidikan kurang diberikan peran dalam pengambilan alokasi anggaran di luar pengajuan anggaran pendidikan.
Dokter lulusan Universitas Brawijaya ini merujuk Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan juga Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas PP No 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan disebutkan:
Menteri-menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanan pembangunan nasional secara bersama-sama menyetujui pengalokasian anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangannya untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
“Menkeu, Menteri PPN secara bersama-sama menyetujui pengalokasian anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN sesuai kewenangan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Jadi di situ menurut saya penting melibatkan Mendikdasmen dan Mendikti untuk mendefinisikan tadi 20% dan bahkan terlibat dalam pengalokasian anggaran pendidikan,” jelas Gamal.
(nwk/faz)