Jakarta –
Polemik terkait wacana libur sekolah selama Ramadan masih terus bergulir. Terakhir, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti telah membeberkan tiga opsi untuk dibahas dalam rapat kementerian, yakni libur penuh, libur tidak penuh, dan tidak libur.
Terkait hal ini, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberi rekomendasi bahwa kegiatan pembelajaran selama Ramadan sebaiknya bukan diliburkan, melainkan diatur sedemikian rupa. Salah satunya dengan membuat program-program pembelajaran yang dikombinasikan dengan kegiatan ritual bulan puasa.
“Sangat penting agar siswa tetap tumbuh dengan pembelajaran. Sebab, jika libur sebulan penuh tanpa pengawasan pembelajaran, anak akan berpotensi tertinggal dalam pencapaian kompetensi,” kata Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, pada Jumat (3/1/2025) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Waktu 3 sampai 4 minggu kalau diliburkan betul-betul full, tidak ada pembelajaran secara akademis, ini akan mengancam ketertinggalan materi. Ini saya pikir harus dikaji dampak negatif terhadap pencapaian kurikulum oleh pemerintah,” tambahnya.
Usulan Pesantren Ramadan dan Kegiatan untuk Siswa Nonmuslim
Apabila siswa tidak diliburkan, kegiatan pembelajaran bisa dikonsep dengan semacam ‘pesantren Ramadan’. P2G menyebut, konten mata pelajaran terkait spiritual tetap bisa beriringan tanpa harus dipisahkan.
Sementara untuk siswa nonmuslim, bisa mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter dengan guru pendamping agama.
“Misalnya, pesantren Ramadan, kemudian yang nonmuslim juga mengikuti kegiatan dari guru pendamping yang sesuai dengan agamanya, yang nuansanya pendidikan karakter misalnya,” ucap Satriwan Salim.
“Jadi selama bulan Ramadan, bisa didesain kurikulum pembelajarannya adalah mengombinasikan antara konten mata pelajaran dengan konten yang bernuansa ritual (keagamaan). Jadi jangan dipisahkan gitu keduanya,” lanjutnya.
Selain itu, P2G juga memberi rekomendasi lain yakni modifikasi jam pembelajaran. Termasuk memanfaatkan jam belajar pada bulan Ramadan yang memang berkurang atau mendapatkan penyesuaian.
“Misal saja, dengan mengurangi jam pelajaran di SMA/MA/SMK dari 45 menjadi 30-35 menit. Kemudian mengubah jam masuk sekolah lebih siang dan lebih cepat pulang. Atau juga belajar aktif hanya dua minggu pada pertengahan Ramadan. Sisanya sekolah mengadakan program Pesantren Ramadan. Jadi opsinya ada banyak,” papar Satriwan.
Kekhawatiran Jika Siswa Libur Sekolah Selama Ramadan
P2G menilai pemerintah perlu melihat dampak negatif dari opsi libur sekolah selama Ramadan. Misalnya terkait lemahnya pemantauan dan pengawasan siswa oleh guru dan orang tua.
“Tapi faktanya orang tua yang bekerja atau punya aktivitas lain, tidak dapat mengawasi dan membimbing anak selama libur. Orang tuanya tidak libur, tetap mencari nafkah di luar rumah,” ungkap Satriwan.
Senada dengan hal ini, Ketua Guru Belajar Foundation, Bukik Setiawan mengatakan, libur selama Ramadan bisa berdampak dua hal pada anak, yakni kekurangan aktivitas bermakna dan risiko penggunaan teknologi digital. Ia juga menyinggung soal hal yang dihadapi orang tua.
“Pada sisi lain, anak di rumah selama libur panjang juga akan menambah kerepotan orang tua,” ujarnya kepada detikEdu pada Kamis (2/1/2025) lalu.
Menurutnya, jika kebijakan ini ditetapkan, maka bisa berpengaruh besar pada anak. Dia berpendapat bahwa dalam kondisi ini, pemerintah melakukan perubahan drastis secara nasional.
Alih-alih libur, Bukik menyarankan agar pemerintah memberikan kewenangan pada sekolah untuk fleksibel mengatur durasi masuk sekolah. Misalnya, sekolah bisa mengurangi jam pelajaran atau menambah jam untuk kegiatan yang lain.
“Beri kewenangan pada sekolah untuk mengantisipasi pengaruh tersebut sesuai dengan kondisi daerah dan kapasitas sekolah yang mengacu pada kebutuhan murid,” tutur pemikir Merdeka Belajar tersebut.
(faz/nwk)