Jakarta –
Universal Institute of Professional Management (UIPM) belum memiliki izin operasional di Indonesia. Kini, pihak UIPM tengah berupaya mengurus izin tersebut ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Sebelumnya, Kemendikbudristek telah melakukan investigasi melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah IV pada Minggu dan Senin 29-30 September 2024. Investigasi tersebut dilakukan terkait aduan masyarakat atas dugaan UIPM belum mempunyai izin operasional dari Kemendikbudristek.
Investigasi tersebut merupakan buntut pemberian gelar honoris causa dari UIPM kepada selebritas Raffi Ahmad.
Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Satria Unggul Wicaksana turut menanggapi hal ini. Menurutnya, polemik pemberian gelar honoris causa kerap terjadi di Indonesia.
Terbaru, sebetulnya ada Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen yang di dalamnya turut mengatur perihal pemberian gelar profesor kehormatan. Pada aturan ini memuat pembatasan jumlah profesor kehormatan yang boleh diberikan oleh kampus.
Aturan Pemberian Profesor kehormatan
Pada pasal 41 Permendikbudristek 44/2024, dikatakan menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa sebagai profesor kehormatan atas usul perguruan tinggi. Jumlah profesor kehormatan dalam perguruan tinggi maksimal satu untuk setiap rumpun ilmu.
Masih dalam pasal yang sama, ayat 6 menyebutkan masa jabatan profesor kehormatan maksimal 5 tahun dan tidak dapat diperpanjang.
Kualifikasi Profesor Kehormatan
Pasal 42 Permendikbudristek 44/2024 menjelaskan beberapa persyaratan yang untuk seseorang diberi gelar profesor kehormatan, yaitu:
- Kualifikasi akademik minimal doktor, doktor terapan, spesialis, atau kompetensi setara dengan jenjang 9 pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
- Kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan luar biasa.
- Pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional.
Integritas Akademik Persoalan Kampus-Kampus di Indonesia
Satria menjelaskan kampus tidak akan mendapat kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang memadai jika kampus yang menjadi tulang punggung dan diandalkan menggunakan cara-cara yang culas dan tidak baik.
“Pada kasus Raffi Ahmad ini menjadi tanda bahwa problem itu tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga ada upaya-upaya dari kampus asing. Di sinilah penting untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ada berkaitan dengan integritas akademik itu sendiri,” kata Satria, dikutip dari UM Surabaya.
Satria menilai, titik puncak problem doktor, profesor honoris causa yang menjamur diberikan kepada politisi, pengusaha, hingga selebritas ini kesannya transaksional di masyarakat. Padahal, fungsi kampus adalah sebagai benteng kejujuran dan benteng kebenaran.
Satria menyebut, integritas akademik menjadi persoalan yang amat krusial di kampus-kampus di Indonesia. Gelar doktor dan profesor abal-abal yang lalu memakai cara-cara mencurangi integritas akademik kian marak terjadi.
“Kasus yang terjadi pada Lambung Mangkurat adalah satu di antara banyaknya fenomena gunungnya es di Indonesia, penggunaan jurnal abal-abal, pemalsuan data, dan praktik-praktik inilah yang menjadi contoh betapa krisisnya problem integritas akademik,” jelasnya.
Satria menuturkan, upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini ada pada political will para pimpinan perguruan tinggi. Dia menekankan political will jadi modal yang sangat penting untuk memutus mata rantai supply dan demand. Sebab, hal ini berkaitan dengan sejauh mana usaha civitas memberikan kontrol eksternal.
“Kalau kampus obral gelar jabatan, ini akan sangat berbahaya. Terutama kepercayaan masyarakat terhadap integritas, juga dampaknya pada reputasi perguruan tinggi di mata internasional,” tegasnya.
Satria menekankan seseorang yang akan diberi gelar ini merupakan kandidat yang betul-betul mempunyai rekam jejak panjang dalam ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
(nah/nwy)