Jakarta –
Selain membangun instalasi nuklir sejak pertengahan 1950-an, Indonesia di bawah Presiden Sukarno juga menyiapkan program ruang angkasa. Stasiun peluncuran roketnya dibangun pada 1962 di Pameungpeuk, Garut – Jawa Barat.
Sementara antena-antena besar untuk menyokong komunikasi jarak jauh dibangun di lokasi yang kemudian menjadi Lapangan Golf Matoa di perbatasan Ciganjur – Depok. Proyek ini resminya disebut “Proyek Komunikasi Antariksa”.
Untuk mendukung itu semua, TNI Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) merekrut para sarjana terbaik di berbagai bidang teknik dari kampus-kampus terkemuka di tanah air. Salah satunya adalah HR Sri Diharto yang tengah menekuni teknik fisika di ITB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat baru meraih gelar Sarjana Muda, Sri Diharto direkrut masuk AURI dan dilantik sebagai Letnan Udara II pada 1 Agustus 1965. Selain cemerlang secara akademis, lelaki kelahiran Jepara, 6 Desember 1941 ini juga bertubuh tinggi atletis dan wajah rupawan.
“Saya direkrut oleh Mayor Lek Slamet Mamiek dan Komodor Muda Soebambang yang berkunjung ke ITB. Kala itu AURI sedang membangun kemampuan di bidang elektronika, seperti radar dan misil elektronik untuk menguatkan fungsi intai pesawat kita,” kata Sri Diharto yang biasa disapa Toto dalam biografi bertajuk “Hidupku”. Buku setebal 212 halaman yang diterbitkan Kompas itu ditulis Imelda Bachtiar.
Pada November 1971, Toto yang sudah berpangkat Kapten harus meninggalkan istri dan putra pertamanya, Boyke, yang baru berusia 17 bulan. Dia terpilih untuk mendalami sistem elektronika, roket dan peluru kendali (rudal) di Cranfield Institute of Technology (CIT), Inggris. Bersamanya kala itu ada tiga perwira lain yakni Lettu Teknik Ir Soegito, Kapten Sen Ir Putrandono, dan Mayor Tek Ir Heru Susilo. Di CIT, Toto mendapat bimbingan langsung dari Prof Whillfied, pencipta roket yang digunakan pada Perang Dunia II.
Sayang, begitu selesai mengikuti pendidikan dan menyandang gelar Master of Science (M.Sc) dan kembali ke tanah air pada Maret 1974, pemerintah justru menghentikan “Proyek Komunikasi Antariksa” karena masalah dana. Toto dan kawan-kawan akhirnya harus kembali bekerja seperti biasa dengan gaji pas-pasan.
Suatu hari, saat tengah jalan-jalan bersama istrinya ke kawasan Jalan Braga, Bandung, di sebuah toko elektronik dia melihat banyak kalkulator rusak yang dibiarkan menumpuk penuh debu. Kepada si pemilik toko dia menawarkan diri untuk memperbaiki satu kalkulator yang rusak sebagai percobaan. Berhasil memperbaikinya dalam hitungan jam, saat kembali ke toko keesokan harinya Toto ditawari untuk memperbaiki semau kalkulator rusak. Honor sebesar Rp 600 ribu akhirnya ia belikan mobil bekas untuk sang istri, Kun Imbawati, yang dinikahi pada 1969.
Untuk menambah pendapatan, di luar jam dinas Toto juga pernah melakoni menjadi sopir angkot rute IKIP (di Jalan Setiabudi) ke Dalem Kaum (alun-alun). Mobil dia pinjam dari kakak iparnya yang menjadi kepala polisi di Bandung. Supaya anak buah tidak mengenali, dia berpakaian ala sopir dan memakai topi. Toh begitu, sesekali ada saja anak buah yang memergoki dan menjadi penumpangnya. Kalau sudah demikian, dia akan membentak si anak buah.
“Diem. Sudah naik saja, nanti ndak usah bayar!”
Dari empat perwira AURI yang pernah dikirim ke Inggris, cuma Toto yang pensiun dengan pangkat Bintang Dua tersemat di pundak atau Marsekal Muda. Tiga rekannya pensiun dengan pangkat Kolonel dan mereka semua telah almarhum.
Membaca kisah hidup Marsekal Muda TNI (Purn) Ir HR Sri Diharto, MSc ini, penulis menangkap kesan dia seorang otodidak yang menerapkan disiplin tinggi. Bertindak profesional dalam mengemban tugas dan tanggung jawab, serta sangat menjaga integritas pribadinya. Toto tidak pernah mengeluarkan uang untuk meraih pangkat tinggi. Tanpa kasak-kusuk atau menjilat atasan-menyikut kolega atau bawahan. Semua dicapai secara bertahap berkat prestasi yang ia torehkan.
(jat/nwk)