Jakarta –
Kasus kekerasan seksual di kampus masih banyak. Kasus-kasus baru bermunculan. Mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual di berbagai kampus dinilai masih payah.
“Banyaknya kasus kekerasan yang terjadi selama ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran dan mekanisme penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi,” ujar Ketua DPR RI Puan Maharani dalam rilis yang diterima, Jumat (13/9/2024).
Puan mencatat beberapa kasus kekerasan seksual masih muncul beberapa waktu terakhir. Ada kasus dugaan kekerasan seksual di sebuah kampus di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tengah menjadi perhatian publik. Berdasarkan informasi, total ada 17 mahasiswi maupun alumni yang diduga menjadi korban pelecehan seksual oknum dosen kampus tersebut. Hal yang menjadi sorotan adalah karena pihak kampus itu belum memberikan aksi nyata dalam menyelesaikan kasus tersebut. Padahal akibat tindakan pelecehan yang dilakukan oknum dosennya, terdapat mahasiswi yang trauma hingga berhenti kuliah.
Pembiaran kasus dugaan kekerasan seksual juga terjadi di sebuah perguruan tinggi di Gorontalo beberapa waktu lalu. Sebab hingga saat ini, belum ada kelanjutan penanganan kasusnya. Pelaku diduga merupakan petinggi kampus di mana setidaknya ada belasan perempuan yang terdiri dari staf kampus, dosen, hingga mahasiswi menjadi korban.
Puan juga menyoroti vonis terhadap mantan dosen di Bandar Lampung yang terbukti melakukan pemerkosaan atau kekerasan seksual terhadap mahasiswinya. Pelaku divonis hukuman 8,5 tahun penjara atas perbuatan yang dilakukannya serta wajib membayar denda dan restitusi atas tindakannya.
Survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyatakan, kekerasan seksual terbanyak terjadi di perguruan tinggi. Berdasarkan catatan survei Kemendikbud per Juli 2023, terjadi 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Sementara itu selama periode 2015-2021, Komnas Perempuan menerima 67 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Dari seluruh laporan tersebut, mayoritasnya atau 35% berasal dari kampus atau perguruan tinggi.
Mengakarnya Ketidaksetaraan Gender-Kebijakan Tak Pro Perempuan
Masih banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dianggap sebagai betapa kompleks dan mengakarnya masalah ketidaksetaraan gender dalam lingkungan akademis. Menurut Puan, kasus kekerasan seksual tidak hanya menunjukkan kegagalan individu, tetapi juga mencerminkan masalah struktural yang memperkuat kerentanan perempuan di ruang-ruang publik.
Kekerasan seksual yang terjadi di ruang akademis menunjukkan sistem perlindungan belum cukup efektif dalam mencegah maupun menanggapi kasus-kasus kekerasan berbasis gender. Hal ini mengingat mayoritas korban kekerasan seksual merupakan perempuan.
“Ini adalah bagian dari serangkaian masalah kekerasan seksual yang dihadapi perempuan di berbagai ruang publik, termasuk di lingkungan akademis,” tegas perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
Menurut Puan, Pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat harus bekerja sama dalam menciptakan kebijakan yang melindungi perempuan dan menjamin kampus sebagai ruang yang aman dan adil bagi semua mahasiswa.
“Rendahnya penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus juga menunjukkan kebijakan yang tidak pro-perempuan,” ucap Puan.
Puan pun menyebut relasi kuasa yang timpang baik antara dosen dan mahasiswa, maupun atasan kepada bawahan dalam konteks akademik yang hierarkis menciptakan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karenanya, ia menegaskan pentingnya kesetaraan gender untuk menjadi prioritas dalam setiap kebijakan, termasuk dalam lingkungan pendidikan.
“Perempuan tidak boleh lagi menjadi korban dari sistem yang tidak melindungi mereka,” sebut Puan.
Pada kasus relasi kuasa seperti ini, mahasiswa sering kali terjebak dalam posisi sulit saat menjadi korban kekerasan seksual karena takut akan konsekuensi akademis atau sanksi sosial jika melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Ketakutan ini semakin diperburuk oleh stigma dan stereotipe yang masih melekat dalam masyarakat di mana perempuan yang berani mengungkapkan pelecehan seksual justru sering kali disalahkan atau diragukan kesaksiannya. Dalam banyak kasus, korban memilih untuk diam karena ketidakmampuan melawan relasi kuasa yang tidak seimbang.
Peraturan Berlapis Tumpas Kekerasan Seksual di Kampus
Puan memaparkan, sudah ada beberapa peraturan untuk menindak kekerasan seksual di kampus. Seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang merupakan inisiatif DPR.
Dalam kaitannya dengan lingkungan kampus, Kemdikbudristek juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Untuk itu, Puan mendorong pihak kampus untuk tidak segan bertindak tegas terhadap kasus kekerasan seksual.
“UU TPKS juga menjamin perlindungan terhadap para korban. Karena rata-rata kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berkaitan dengan relasi kuasa. Ini yang harus kita putus dengan tindakan tegas,” ungkap mantan Menko PMK itu.
Puan menegaskan, UU TPKS memastikan korban akan mendapat perlindungan secara komprehensif serta memastikan laporan kasus kekerasan seksual harus ditindaklanjuti.
“Maka korban kekerasan seksual tidak perlu takut untuk speak up. Apalagi saat ini sudah banyak lembaga yang siap memberi pendampingan bagi korban. Masyarakat juga ikut berperan dalam mengawal kasus-kasus kekerasan seksual,” katanya.
Kepada perguruan tinggi, Puan kembali mengingatkan untuk memainkan perannya yang tak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai penjaga moral dan etika yang memastikan bahwa setiap individu, terutama perempuan, terlindungi dari segala bentuk kekerasan. Menurutnya, institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar untuk memperkuat kebijakan perlindungan perempuan di lingkungan kampus.
“Sistem penanganan kasus kekerasan seksual harus diperbaiki agar lebih inklusif, dengan melibatkan partisipasi mahasiswa, dosen, serta aktivis hak asasi perempuan. Kebijakan ini harus menjamin akses korban terhadap keadilan, tanpa adanya ancaman atau stigma tambahan,” tutup Puan.
(nwk/pal)